Ibu Rumahan; Sebuah Pengakuan

Kata Ayahku, jatah rizkimu takkan habis kecuali sudah tiba waktunya meninggalkan dunia. Dulu, aku mengingatnya sebagai obrolan di teras depan. Terngiang, sebab kerap diperdengarkan.
Lambat laun, semakin besar Allah memberiku kesempatan dalam satu majlis, diperdengarkan kutipan hadits yang bicara tentang rizki, bersanding dengan ajal. Keduanya, adalah ketetapan.

Dalam sempit pandanganku, rizki melulu seputar harta. Jadi ada masa dimana susah payah kuhabiskan tenaga meraih rupiah demi rupiah. Bukan, bukan aku tak yakin dengan hadits lain yang mengatakan sebaik rizki adalah yang didapat dari upaya tangan sendiri. Masih ingat juga kisah dimana Rasulullah membekali seorang peminta-minta dengan kapak, demi menjauhkannya dari meminta dan mengajarkannya kemuliaan bekerja mencari rizki.

Hanya saja...

Di atas bumi Allah ini, ada sesuatu bernama makna. Yang kadang kala otak terbatas -seperti yang manusia punya-, perlu waktu menyadarinya. Perlu masa memperluas kesadarannya. Dan semakin tua, berbahagialah sesiapa yang mampu semakin luas menghimpun maknanya. Seiring dengan amanah yang singgah, makna rizki yang sekedar harta lalu perlu direvisi. Bersamaan dengan belajar prioritas, ada pembenahan tatanan yang perlu dilakukan. Dan di atas itu semua, umur yang memendek sementara nafas terakhir yang entah kapan adalah kepastian.

Kadang, kuakui ada iri pada mereka yang berhasil menghimpun pundi-pundi dari tangan sendiri. Para perempuan perkasa, yang mendampingi laki-laki hebat. Tapi lagi-lagi, tak semua perkasa harus berdiri dengan definisi itu. Kumaknai sendiri rasa perkasa yang sesuai untuk diri.

Ada kala aku memaksa mencari penghasilan, tapi nyatanya jelas ada amanah yang tersingkirkan depan telepon genggam. Iya, sebab telepon genggam menjadi senjata andalan bagi para ibu penunggu rumah sepertiku. Mungkin, nanti ada saat yang tepatnya bagiku. Saatnya meluaskan makna rizki, bukan? Sebab...

Ada mata sendu si sulung yang menantiku terjun main bersamanya. Menjadi penjual atau bertukar peran menjadi pembeli dengan uang kertas lembaran origami. Atau, menjadi hewan pilihannya, mengejar si adik. Atau, bahkan sekedar duduk di sampingnya, menemaninya sepenuh perhatian. Tanpa hp, tanpa otak yang berkeliling resah membayangkan pesan demi pesan di inbox yang menunggu jawaban. Benar-benar memperhatikannya.

Pernah juga kuat keinginan memasukkanya sekolah begitu menggebu. Alasan umur yang sudah sangat cukup, juga mengantisipasi kebutuhannya akan teman, juga ketakutan ia akan bosan di rumah saja. Tapi...

Saat jernih menyendiri, kutanya hatiku. Apakah benar untuk kebaikan anakku, atau benar seperti gurauan seorang supir taksi yang kutumpangi di suatu sore. Saat itu, pak supir taksi meluncurkan guyonannya saat melihat rombongan anak kecil berseragam melintas. "Anak-anak itu, ibu mereka pasti senang. Begitu selesai mengantarkan anak, ibunya bisa terlepas, mau santai bisa, mau beresin kerjaan dia bisa. Ya kan? Yang butuh anak sekolah itu, ibunya bukan?", katanya sambil menoleh kecut padaku. Sepertinya, supir taksi itu mungkin bagian dari teguran Allah untuk meluruskan niyatku.

Begitulah. Seringkali ingin melepaskan sesuatu -atau lepas dari seseorang-. Mengejar sesuatu yang lain. Tanpa sadar, semua ada waktunya berlepas sendiri. Mungkin pada saat keberlepasan itu tiba, kita-lah yang menangisi diri.

Pelan-pelan, meski tahu diri tak sebaik ibu di luar sana dengan sederet kelebihannya, aku memohon Allah menguatkanku, menjalani hidupku. Menjalani pilihanku. Menjalani tugas utama yang seringkali menguras habis keinginan dan perasaan.

Semua, adalah indah. Jika kita fokus pada sinar cahayanya. Bukankah kegelapan tersebab oleh ketiadaan cahaya?

*aliran rasa. Baru saja membuka buku FBE bagian muqoddimah. Sudah tak mampu membendung kata. Buku ini berat, kawan. Tapi setidaknya, aku dapat sebaik teman. Sekian.

Comments