NHW #1: Adab Menuntut Ilmu

Bismillah.

Sejak bertahun lalu, mendengar nama Institut Ibu Profesional –mari menyingkatnya seperti ia biasa dipanggil, IIP-, tak asing lagi. Sebuah upaya pemberdayaan perempuan digagas oleh bu Septi Peni Wulandani, terutama dalam perannya sebagai Ibu. Beberapa kali sudah terbersit niat untuk gabung, dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi akhirnya terwujud juga langkah masuk ke dalam pintu gerbang utamanya; kelas matrikulasi.

Matrikulasi ini, ibarat pembekalan awal menuju tahap selanjutnya. Dalam IIP,jenjang perkuliahannya dirunut sebagai berikut: Matrikulasi -> Bunda Sayang -> Bunda Cekatan -> Bunda Produktif -> Bunda Shaleha. Nah, yang khas dari setiap tahapnya adalah… tugas! 

Semacam PR kalau kita sekolah ya. Uniknya, penamaan yang diberikan memang sengaja agar tidak menerbitkan kembali stigma ‘tugas itu nggak asyik, serem’. Siapa yang masa sekolahnya anti anget sama kata tugas? Saya tunjuk diri sendiri, bangett. Produk lama yang sudah terlanjur punya pandangan negative sama tugas –apapun bentuknya-, dipaksa merubah rasa, membuang jauh cita rasa tidak enak yang kadung melekat dengan PR. Jadilah kita kenalan dengan NHW, nice homework.

Jadi, sekian pengantar tentang NHW yang mungkin akan muncul, dan muncul lagi sampai beberapa bulan mendatang. Kabarnya ada sekitar 9 seri NHW *elap keringet* bismillah yuks.
-----
NHW #1

Usai materi tentang adab menuntut ilmu, pertanyaan yang disodorkan adalah pilihan ilmu yang akan ditekuni. Pertanyaannya mudah, tinggal jawabnya yang harus mikir.

Memilih jurusan yang ditekuni butuh beberapa pertimbangan. Semua ilmu itu cahaya, pada prinsipnya. Tidak termasuk ilmu hitam ya, yang jelas :P Rasanya mau belajar semuanya. Sayangnya, kapasitas manusia zaman sekarang belum lagi mampu melakukan pencapaian layaknya para pendahulu, dimana satu orang bisa menguasai sekian banyak bidang berbeda. Dan pada akhirnya, saya selaku manusia terbatas memang harus memilih. Daya dan kemampuan apa adanya ini, akan kemana diberdayakan.

Selain pertimbangan kemampuan, juga kebutuhan.

Sejak menjalani peran rumah tangga, ada satu sisi yang saya insafi. Betapa sekian tahun sudah habis jenjang sekolah, tapi sedikit sekali bekal untuk menghadapi fase terberat –plus bisa jadi terlama- dalam hiudp; fase menjadi istri, dan orangtua. Sampai rasanya seperti tertatih mencari ritme,mempelajari bagaimana ini-itu, menjadi begini dan begitu.

Terkaget boleh, tertatih tak apa, asal jangan berhenti belajar. Perubahan menuju baik tidak punya batas waktu kecuali nafas terakhir. Itu sounding positif yang terus saya coba bisikkan di momen warna-warni. Upaya menebar optimisme diri di tengah gempuran dunia yang ibarat rumah kaca, rentan bikin up-down dengan terpampangnya kehidupan orang-orang di jendela media sosial.  

Jadilah, mulai mencari komunitas dan sarana menimba ilmu keluarga. Dengan keberadaan di luar Indonesia, sempat tersersit iri dengan maraknya majlis ilmu keluarga di Tanah Air yang merebak ramai bak jamur di musim penghujan. Tapi, bersyukur sekali dengan fasilitas digital yang mampu melipat jarak, membuka kesempatan belajar via jaringan internet. Salah satunya bertemu komunitas IIP ini ~ Alhamdulillah, tugas selanjutnya adalah mempertahankan niyat dan tekad, lalu mengubah ilmu yang tersebar dalam kalimat menjadi amal nyata.

Tugas yang sungguh tak mudah, hanya dengan melibatkan Allah-lah langkah kita bisa bertahan kedepan.
*****

Dari sekian hal yang mencuri perhatian saya di kelas baru IIP ini adalah dimulainya dengan bab ‘adab menuntut ilmu’.

Bukan hal yang asing mungkin, buat sebagian orang bahkan materi ini seperti makanan yang membosankan. Sayangnya, melewatkan satu bab ini ibarat meninggalkan kunci dari sebuah bangunan megah. Sebutlah bangunan itu keberkahan yang menaungi segala aktivitas, dengan semua makna variatif yang mampu tercakup. Tanpa adab, sekian banyak bekal milik seseorang hanya percuma.

Dan mengikuti isi materinya membuat istighfar berkali-kali. Bukan, bukan salah materinya. Justru saya yang berkaca dan merasa rugi dengan tingkah laku selama ini. Kerap merasa besar, kurang menghormati guru, seenaknya saja dalam memperlakukan sumber ilmu. Padahal tak jarang merasa hobi belajar, tapi kenapa sikap tak seperti pelajar?

Astaghfirullah...

Wahai diri, mari belajar rendah hati. Jangan lelah mencuci diri, sebab hanya niat ikhlas dan adab mulia yang menyampaikan amal pada penerimaan. 

من علمني حرفاً اخلصت له وداً و احفظ له الجميل  ~
Belajar lagi mengingat kekata hikmah di atas, -yang belum ditemukan terjemah pasnya, heu-. Barangsiapa mengajariku satu huruf, setulus cinta kuberikan, segala kebaikan kusiapkan.
*teriring doa untuk semua guru kehidupanku. Semoga Allah merahmati, selalu.

Cairo, 28 Januari 2018
Wafy, for #NHW #1 #MatrikulasiIIP #Batch5
   



   


Comments