Mencari Bahagia

Adakah bahagia itu susah?

Pertanyaan itu muncul kala celetuk si sulung pada saya yang tengah duduk memperhatikan ia jungkir balik koprol. “Jangan marah dong Ma”, katanya sigap. Kening saya otomatis berkerut, siapa yang marah? Kondisi saya waktu itu relative lagi stabil, alias tanduk masih tersimpan rapi dan belum unjuk gigi. Cuma ya emang lagi diam aja menonton, tanpa tendensi emosi.

Awalnya, saya sudah brsiap memuntahkan pertanyaan balik, emang siapa yang marah, kenapa marah, dll. Otak reptile saya agaknya memang betul terlatih menanggap balas dan memicu perdebatan remeh, (duh). Tapi mumpung lagi eling jadi ditahan sedetik-dua detik, memberi waktu otak manusia berfungsi. Dan, malah sebaliknya terjatuhlah saya di lembah Tanya, apakah sedemikian ruwetnya muka saya, si emakrempong ini, sampai-sampai mimik muka biasa jadi cenderung lebih menyerupai marah?

Apakah… tertawa jadi barang mahal buat saya?

Apakah… saya termasuk orang yang sulit bahagia?
.

Apakah, bahagia itu?

Dipaksa termenung dengan pertanyaan terakhir. Saya yakin, tiap pribadi punya definisi sendiri menerjemahkan rasa. Tafsir jiwa yang berhak dianutnya. Kelak tafsir itulah yang akan mempengaruhi jalan yang ditempuhnya.

Ah, ribet ya.

Iya, kadang saya suka merasa terjebak dalam keadaan yang serba disulit-sulitkan. Enggan memudahkan. Semacam, mematok bahagia dengan keliling dunia before 40 age myself  {{ter-vicky}} :P atau, berteriak minta lulur dan spa di saat hidup duo bocils berkait erat dengan diri ibunya. Atau, berharap banget nggak ada cucian baju kotor, sambil bertanya geram akpan habisnya edisi cuci-mencuci. Ya iyalah, selama anggota keluarga masih aktif bergerak akan selalu ada siklus ganti baju, bukan?

Saat waras, mungkin pikiran baik bisa berkuasa. Mengalahkan emosi jiwa yang terpantik naik lalu keluar tanduk, hiii…

Tapi, kalau tidak?

Agaknya, saya mulai iri dengan makhluk mungil bernama anak kecil. Yang bisa selintas lalu diomeli sebab tumpahan susu berceceran, lalu dengan ringannya menyunggingkan senyum. Yang bisa tertawa renyah hanya dengan sekotak kardus yang menjelma kereta api. Kereta yang membawanya melintasi lembah-lembah murung, menuju liburan di pantai dalam fantasinya. Semudah berkeliling rumah mengenakan ban renang di pinggang, lalu menggeser segala barang di atas kasur dengan klaim ‘ini laut luasku, tempatku berenang dan ini garis pantainya. Semuaa Jangan lewat sini’.

Mungkin waktunya belajar menyederhanakan bahagia-ku, bahagia kita. Dimulai dari kerelaan tergelak tawa bersama jiwa-jiwa suci. Sejenak masuk ke dunia kanak-kanak mereka, membangkitkan imaji indah tentang hidup yang seisinya adalah anugerah sekaligus ibtila' -ujian-.

Kapan terakhir benar-benar tertawa bersama anak-anak, duhai ibunda? tanpa kepala yang sibuk berkeliaran di dunia entah mana, tanpa jari yang sibuk menggeser gawai, tanpa mata yang menelisik layar, tanpa bayang tumpukan pekerjaan yang sedianya selalu ada dan tak pernah usai. Kapan?

gambar dari sini
Bisik hatiku tiba-tiba sendu; Bukankah, bahagia bisa sesederhana diberi kesempatan bertemu, berkumpul dengan kesayangan, dalam naungan iman?
sederhana. tapi luar biasa. 

Maka, tak lupa diakhir tulisan ini melangitkan doa, semoga Allah mengekalkan perjumpaan kita kelak di tempat paling indah, tempat segala harap dan bahagia kita diampu; syurga-Nya.



Cairo, akhir April 2017   
catatan emakrempong yang sedang menikmati bertiga dengan bocils berhari-hari. belajar menikmati semuanya

Comments