Hari ini, ada notifikasi masuk dari Facebook yang merayakan
lama pertemanan dengan Facebook sejak beberapa tahun lalu. Oho, Ternyata setelah
lahir beberapa tahun, jejaring Facebook dan Instagram masih bertahan hidup ya. Saya
ingat tulisan entah siapa –karena baca bertahun lalu dan Cuma sepintas saja –maaf
ini kebiasaan jelek bangett- yang membicarakan seberapa panjang nyawa jejaring social.
Kalau dulu jaman sekolah pernah merasakan riuhnya Friendster yang sudah mati, tergantikan
dengan facebook zaman sekarang. Dulu facebook Cuma terbatas status saja, maka
chat masih lewat Yahoo messenger. Sekarang YM tergeser oleh Messengernya FB. Terus
berkembang buat yang hobi pepotoan difasilistasi oleh jaringan instagram. Instagram
menyadari perlunya pengembangan agar terjadi interaksi intens antar pengguna,
jadilah bisa saling kirim pesan. Disusul fitur story yang bisa menunggah
aktivitas paling kekinian, real time. Entah beberapa waktu kedepan mungkin
fasilitas demi fasilitas bawaan social
media akan membawa cerita apalagi.
Di tengah dunia yang ramai dengan aneka jenis social media
ini, sesaat muncul rasa hidup di rumah kaca. Bukan soal rumah kaca yang terkait
global warming. Tapi Rumah kaca yang mempertontonkan segala jenis bagian dalam
isinya. Semua mata bebas mengakses jeroan rumah kaca tersebut. Dan penghuninya
bebas mengekspos apapun yang mau ia ekspos.
Nggak, saya nggak akan bahas masalah niyat atau urusan pamer
yang sudah sering disinggung pesan orang-orang dan kadang bikin hawa dunia
tambah panas. Oh man, please, it’s already 40’ celcius here…
Saya Cuma mau cerita sedikit tentang kegamangan saya yang
makin lama makin akut. Pencetus awalnya adalah nafsu berburu buku murah yang
mengantarkan saya keliling dunia instagram dengan mudah. Selancar sani-sini,
mata saya malah mampir ke sekian banyak akun yang berhasil menggugah ke-Wow-an
dengan foto-foto cantik dan caption indah. Entah kenapa, setelah lihat
postingannya saya seperti merasa… gamang.
Awalnya saya pikir, si debu rumahan macam saya akan
motivated dengan melihat foto ide main, atau petikan kata bijaksana, atau
materi berbagi tentang parenting dan keluarga. Dan bonus jaringan buku murah
pun bisa didapatkan mudah.
Sampai pada saatnya saya merasakan terhuyung, kehilangan
standar. Jadi, dengan leluasa melihat isi rumah orang lain, keinginan di jauh
dalam diri saya menggebu-gebu. Seperti mendapatkan pembenaran untuk terus
berlari ke ajang perealisasiannya. Gas poll. Apakah yang terjadi saat gas
tingkat tinggi? Mobil saja bisa bablas saat polisi tidur. Bahkan bisa tabrak
pagar pembatas jalan.
Peristiwa kantong kempis saat pameran buku import model
BBW dan book fair berbarengan, adalah catatan istimewa yang akan menjadi alarm sepanjang
hidup saya, insyaAllah.
Ya, filter yang sejatinya biasa tegak di masa normal
ternyata bisa dilabrak saat nafsu berburu tinggi. Hilang sudah teori ‘apakah
ini dibutuhkan?’-‘apakah ini bermanfaat?’-‘apakah siap mempertanggungjawabkan
di hari pembalasan kelak?’.
Saya nggak akan menyalahkan orang lain dengan postingannya. Selain
itu bukan wilayah saya, saya juga berpikir sejatinya mereka punya niat baik berbagi
pastinya. Hanya saya ingin mengingatkan diri saya sendiri , -dan teman-temang
tersayang- kedepannya, bahwa dunia maya yang riuh amat sangat mampu membuyarkan
fokus perjalanan kita di dunia yang pendek ini. Efek rumah kaca yang
memungkinkan kita menyorot dalaman rumah lain selalunya menggoda kita untuk
memasang perabot yang sama untuk rumah kita sendiri. Sibuk memantas-mantaskan
wajah kita dengan frame muka orang lain. Berpayah memaksa pakai sepatu orang
lain di kaki sendiri. Lalu kita tergopoh menghimpun lagi skala penting-tidak penting kita...
Dan kita selalu harus punya waktu menyegarkan fokus kita
dengan berdialog, atau monolog. Bukankah sudah tercontohkan dengan adanya I’tikaf
sebagai penghujung akhir bulan paling istimewa di sejarah tahunan muslimin?
Adakah yang merasakan kegamangan serupa?
Mungkin sudah saatnya kita mencuri waktu untuk jujur pada
diri sendiri dan orang terdekat. Bahwa jalan cerita tiap kita, focus utama sisi
kehidupan kita, tak harus selalu sama…
Comments
Post a Comment