Finding the Absorbent Mind

Bukan, catatan ini bukan ringkasan atau resume dari buku The Absorbent Mind karya Maria Montessori. Karena saya belum juga selesai melahap buku tebal ini. Masih mencoba menyicil sedikit demi sedikit di selipan waktu #emakrempong. 

Buku ini termasuk pondasi untuk memahami metode Montessori yang tengah booming. Dari cicilan sehalaman-dua halaman yang mampu dibaca sewaktu-waktu, saya seperti menemukan Aha! , kelebat lampu layaknya di komik-komik itu 💡 rasanya cukup berharga untuk dikunyah pelan-pelan tanpa terburu target selesai (eh maaf ini sedikit apologi males baca bukan yah? Heu)

Desain utama yang saya tangkap dari buku ini adalah fakta bahwa anak-anak adalah makhluk kecil yang menyimpan daya luar biasa. Maria Montessori mengungkapkan;

Perkembangan mereka dimulai sejak kelahirannya.

Dan ketika mata saya mengolah kalimat itu, otak mengilas balik potongan kisah khalifah Umar Ra. dengan seorang Ayah yang dikatakan telah durhaka pada anaknya. Apa pasal? Ternyata sang Ayah, yang pada awalnya mengadukan kedurhakaan anak pada Umar, telah dianggap durhaka terlebih dahulu sebab tidak menunaikan hak anak semenjak awal. 

✅Memberi nama dengan baik ✅mengenalkan sang anak dengan pedoman umat islam, Al-Qur'an
Serta...
✅memilihkan ibu yang baik jauh sebelum kelahirannya. 

See, Islam begitu indah memperhatikan seorang anak kecil, jauuuh sebelum kelahiran si bayi baru. Memilih (calon) ibu. Memilih jodoh nggak boleh sembarangan *catett ya jomblowers hihi... Makanya atuh sampai tersurat di hadits yang Nabi sebutkan, pilihlah yang agamanya baik, niscaya selamat dan beruntunglah :)

Dan itu tak lain karena Islam memandang bahwa kemuliaan peradaban hanya bisa diraih dengan memupuk generasi berkualitas yang lahir dari rahim suci para perempuannya. Ibu pilihan yang sadar amanah pendidikan utama anak ada di tangannya. Bersama sang Ayah, tak lelah memanfaatkan setiap masa emas pertumbuhan sang anak. 

Hari demi hari, bayi kecil itu membuktikan kemampuan luar biasa. Belajar aneka ragam dari sekelilingnya. Maria banyak menyoroti perkembangan bahasa sebagai salah satu sisi terlihat yang mudah dijadikan bukti. Lahir hanya mampu berkomunikasi dengan menangis, lalu mengenal simbol, mengasosiasi kata, hingga dapat menyusun kalimat demi kalimat. Betapa kita dapat menyaksikan anak umur tiga tahun yang bertutur pengalaman serta pertanyaan dengan berapi-api tanpa henti. 

Itu baru sisi bahasa, belum lagi sisi motorik dan lain-lain. Menariknya sampai-sampai Maria menyatakan pencapaian anak dari kelahiran hingga usia tiga tahun, hanya dapat disamai pencapaian orang dewasa selama 60 tahun. What an absorbent mind!

Apa artinya? 

Di balik tubuh mungil anak nan menggemaskan terdapat daya juang, potensi besar yang memungkinkannya melakukan hal besar. Berangkat dari keyakinan itu, cara pandang terhadap anak bukan lagi dipandang sebagai makhluk tak berdaya. Tapi, diungkap tegas Maria dalam bukunya, mereka justru makhluk luar biasa yang berjuang membangun keajaiban terbesar alam yaitu umat manusia.

Dengan cara pandang tersebut, anak tak selayaknya lagi dianggap beban. Sebagaimana Islam memandang anak sebagai ladang pahala, amal jariah. 

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak yang sholeh yang berdoa untuknya” (HR. Muslim no. 1631)

Inilah yang sejatinya menyalakan semangat kita terus, harapan akan masa depan penuh doa dari mulut shalih keturunan kita. Dan semua dimula sejak dini, dari saat ini.

Cairo. 10/3/2017
~baru selembar-dualembar baca terus balik ke note, catet. Kapan selesainya kah? 😎

Comments