Mubadzir

Sekali-kali, mungkin kita perlu mengecek kadar kemubadziran kita. Jujur menilai diri sendiri, adalah pangkal keberhasilan.

-ان المبذرين كانوا اخوان الشياطين-
Sesungguhnya orang yang mubadzir adalah temannya syaithan.
Tak lain karena tabdzir yakni perlakuan sia-sia, akar katanya dari ب-ذ-ر, semacam menebar, menguar. Tabdzir, menjadi dimaknai menebar harta benda berharga -menggunakannya- dengan berlebihan. Makanya salah satu ciri prilaku kemubadziran bisa dilihat dari sebaran barang yang tersisa dan tersia-sia. Semacam porsi nasi yang dimakan sembarangan sampai banyak berjatuhan, atau guyuran air yang membuat banjir di kamar mandi dan luber keluar, itu tabdzir. (*plis jangan ngeles itu bukan banjir, cuma genangan 😂)

Lalu, kenapa kita harus mengecek kadar kemubadziran kita? Sebab kita, orang dewasa apalagi yang sudah berstatus orangtua merupakan teladan bagi anak-anak. Darimana makhluk mungil itu belajar sederhana dan efektif jika bukan dari orang dewasa sekelilingnya? Tentu kita tidak mengharapkan lahirnya generasi pemboros. Mungkin saat kecil, yang dibuang 'hanya' sebutir-dua butir nasi, tapi bayangkan jika prilakunya bertahan sampai besar! Saat memegang negara, mungkin yang diawur percuma adalah aset negara. Dijual cuma-cuma ke tetangga. Atau, ketika anak perempuan semakin besar, kebiasaan menyiakan harta itu berkembang jadi melelang harga dirinya yang tak mampu ia hargai sendiri. (*Ah, jangan-jangan semua sikap negatif anak-anak yang muncul sebabnya adalah kita sendiri yang salah memantaskan diri?  Hiks)

Menahan diri dari mubadzir artinya belajar menghargai anugerah Tuhan, apapun bentuknya. Juga termasuk wujud syukur atas ni'mat-Nya yang luar biasa tak terhingga. Pembiasaan hidup sederhana sejak dini, jauh dari kesiaan. Teringat selalu teladan Rasul yang amat sederhana hingga tak jarang membekas pada punggungnya alas tidur yang beliau pakai. Bukan tak ada harta, hanya menggunakannya dengan efektif, efisien dan fungsional.

Cara menakar kemubadziran yang paling mudah, lihatlah bagaimana cara kita mengambil nasi di jam makan. Atau seberapa banyak kita menuangkan nasi bagi anak kita yang tentu sudah kita kenal berapa besar porsinya. Semakin banyak sisa makanan yang harus dibuang, begitulah kadar kemubadziran yang harus direnungkan. Sedih sekali rasanya melihat suatu acara ibu-ibu dan bapak-bapak yang di penghujungnya ada sesi ramah tamah alias makan, lalu banyak tersisa di piring yang ditinggalkan rupa-rupa lauk, nasi lebihan, sayuran. Bukankan setiap hari kita makan? Selayaknya kita sudah mengetahui seberapa porsi makanan yang diambil kan?

Suatu waktu, perlukan juga mencatatkan sirkulasi uang bulanan. Biar terlihat pos pengeluaran mana yang paling gembung; hal bermanfaat atau cuma kesenangan sia-sia?

Kala luang, tak ada salahnya melongok isi lemari kita. Jika baju bertumpuk sementara ada puluhan baju ber-tag, berlabel masih menunggu dipakai, mungkin kita patut curiga akan ketinggian kadar mubadzir yang melanda hidup kita.

Sesungguhnya, ada peluh tertumpah di ujung sana, dari tangan legam para petani yang hidup seadanya. Juga keringat para ayah yang menembus pagi buta dan kelam malam demi menjemput nafkah dan rizki keluarga.

Sesungguhnya, ada perut berganjal batu milik sahabat muslim di belahan negara konflik sana, sebab untuk sesuap nasi saja tak mampu mereka dapatkan.

Sesungguhnya, ada tubuh menggigil anak-anak kecil yang tak mampu memperoleh lapisan baju dingin di tengah badai salju.

Sesungguhnya, ada onggokan badan ringkih terbaring ringkih dalam kesakitan. Menahan jeri sebab tak mampu menebus obat.

Dan semestinya, ada yang bisa diberikan dengan mengurangi kemubadziran kita. Jika saja kita mau!

Cairo 24/2/2017

~ #notetomyself #odopfor99days
Menulis untuk mengingatkan diri.

Comments