Refleksi si sumbu pendek


Akhir-akhir ini, nampaknya saya dengan status emak rempong dengan dua balita di tanah rantau ini, sering kehilangan alasan untuk tertawa. Seperti... hilang dimakan rutinitas. 

Dan seiring itu, toleransi akan ke-tidak ideal-an di rumah semakin berkurang. Emosi negatif semakin cepat terpantik.

Sebutlah rumah standar -bukan yang rapi jali- dengan barang berada di tempatnya itu ideal. Piring di rak piring dapur. Kain di dalam lemari. Kunci di pintu atau tergantung di slotnya. Cukuplah ada di tempatnya tanpa harus rapi tersusun. Saat menyaksikan piring dan sendok pindah habitat, diboyong ke keranjang sepeda. Lalu selimut diangkut kesana-kemari demi menghangatkan boneka-boneka kecil. Juga plastik kresek yang tersebar, terisi barang printilan seperti kunci, balok mainan, gelas mug, topi serta berderet barang lainnya, dalam tahap tingkat toleransi akan ketidak idealan normal, mungkin reaksi sebagai orang dewasa cukup menyunggingkan senyum simpul sambil berpeluh sedikit. Toh, semua anak kecil memang suka bermain kan? 

Tapi, yang terjadi dengan pemilik tingkat toleransi rendah, adalah merepet panjang. Keluarlah sederet keluhan. Disertai kenaikan pita suara beberapa oktaf. Pikiran mampet, mulut kian terbuka lebar bicara.

Iya, kalimat terakhir memang perempuan banget sih ya... Jika laki-laki mencari solusi dengan diam, justru perempuan sebaliknya. 

Kira-kira begitulah ilustrasinya. Saat saya merasa sangat gentar depan kenyataan, lalu menjelma orangtua bersumbu pendek. Padahal usai apinya padam, yang tersisa hanyalah sesal. Kenapa harus marah-marah? Kenapa nggak bisa santai dulu? Kenapa nggak begini-begitu? Bukannya harusnya begono? Ah, bubar sudah semua teori. Ujungnya sadar akan sedihnya anak kalau setiap hari kena omel. Sementara mengharapkan anak duduk rapi sepertinya mustahil, karena dasar tabiat mereka memang aktif berbaterai energiz*r. 

Jadi... Memang saya -dan anda juga yang senasib sepenanggungan hehe- sebagai orang dewasa yang harusnya berubah kan? *kunyahobat* 

Dengan apa?

Mari runut pencetusnya! 

Cara yang paling dekat adalah, pahami dan buat daftar apakah pencetus intoleransi tersebut. Intoleransi yah, aduh berat gitu bahasanya... 😰 apakah lapar, apakah berantakannya rumah, apakah intensitas ibadah menyusut, apakah kurang tegur sapa dengan bapak kepala rumahtangga, apakah kurang piknik, apakah butuh coklat plus eskrim, apakah sering tergiur lihat postingan foto teman di medsos #ehh. Dan seribu apakah lainnya. Everyone has their own reason, jadi belum perlu menyontek teman untuk dapat jawabannya ya buuk... 

Setelah itu, baru coba petakan cara meminimalisir pencetus tersebut. Misal, ibadah lagi sering minimalis. Paksa diri berkorban untuk dongkrak. Kalau perlu cari teman atau ikut kumpulan yang menunjang kestabilan ibadah dan ruhiyah.

Kalau emosi sering naik sebab sering lapar, bisa sedia cemilan atau sedia nomer jasa delivery makanan. Bisa juga tetanggaan sama yang rajin bikin kue.

Kalau keseringan kesal lihat printilan barang bertebaran, jauhkan dari jangkauan anak-anak. Atau lokalisasi area main. Asal jangan larang anak main ya, itu mah ibarat mem-phk anak. Bukankah kerjanya anak memang bermain? Perlu juga ikutlah masuk ke dunia mereka, santai sejenak dari rutinitas kerja rumahtangga bersama anak-anak, say bye-bye sebentar dari tumpukan setrikaan. *belajar begini wahai diri sendiri!*

Kalau sebabnya karena sering pengen rumah klimis shabby chic seperti foto instagr*m fulan, mungkin bisa dengan mulai hunting barang dan kalkulasi harga disesuaikan kantong. Kalau ternyata belum urgen, cukup tutup mata saja tanpa ngambek. Kalau belum mampu tutup mata pas scrolling, bisa tutup akun *baper detected*. Begitulah kiranya. 

Hal yang harus saya ingat terus dan teruus adalaaah...

Setiap detik, modal awal menghadapi hari paling mumpuni ialah ibadah dan doa. Naik turun ibadah & amaliyah akan berimbas jelas di keseharian. 

Setiap hari, katanya ujian memang datang di titik terlemah kita. Beware! 

Setiap kenyataan yang terpampang depan mata, sebenarnya selalu ada pilihan menanggapinya. Reaksi positif atau negatif. Setiap berhasil melewati tantangan diri, hadiahi diri sendiri atas perubahan baik sekecil apapun. Biar bahagia, katanya mah rumusnya; a happy mom raises happy children, and happy home.  

Sekian, lalu bismillah lanjut melipir tulis daftar sendiri.

Cairo, 2/1/2017. Maghrib saat anak-anak tidur siang kesorean 😱

#odopfor99days  

Comments

  1. shabby chic lagi tren ya mbak...temen2ku juga sering nata rumahnya dengan shabby chic, memang mbak kalau punya anak kecil itu ya beres2 terus ga bisa berhenti ya he3

    ReplyDelete

Post a Comment