Ibu Belajar dan Ibu Sekolah Lagi?

Ehm. Spoiler sebentar. Kalau kamu mengharapkan sajian bermutu yang menyemangati lanjut sekolah di dalam post ini, you don't need to continue.

Entah sejak kapan saya mulai termasuk orang yang nggak hobi sekolah. Masuk pagi keluar siang. Duduk di kursi. Catet materi sambil denger ibu-bapak guru. Hoahm. Penyakit anak pesantren rajin hinggap; ngantuk. 'Bagusnya' diperparah keyakinan bahwa lebih bagus dan lebih sehat tidur langsung yang nggak perlu capek nundutan (manggut-manggut ngantuk), saya sering lanjut ke step berikutnya. Maaf ya bapak-ibu guru, tanpa mengurangi rasa hormat, kelopak mata kadang emang suka nggak sopan.

Setelah diselingi drama minta mogok sekolah di kelas 1 Aliyah (setara SMU), akhirnya Allah tetap mengizinkan saya menyelesaikan sekolah meski harus mencatatkan beberapa kali melewatkan jam pelajaran yang dulu saya anggap 'tak apa-apa'. Sungguh, satu nikmat bertahan yang amat disyukuri, yang hanya bisa terjadi atas kehendak-Nya saja. Lulus dengan baik. Lalu pertanyaan berikutnya pasti; mau dibawa kemanaa 🎤🎵

Di saat yang lain already straight to fight for certain university, saya mungkin termasuk dari minoritas yang pasrah. Sekolah atau tidak, bukan akhir dunia. Toh belajar bisa dimana saja, begitu pikiran pendek saya dulu. Tapi ternyata rencana Allah berjalan mengharu(s)kan. Ya, Allah antarkan jua keterbatasan saya pada gerbang kuliah. Sampai pintu kelulusan. Hanya tangan-Nya yang bergerak menggusah saya (terus) sekolah, mungkin memang begitu caranya menegur saya untuk melanjutkan jalan pembelajaran. 

So what's next? 

Saat menulis catatan sekolah ini, saya dalam kondisi vakum dari sekolah, sudah hampir 3 tahun berjalan tanpa terikat sekolah tertentu setelah terakhir sempat tercatat di kelas pemula magister universitas yang sama tempat strata 1. Sempat tercatat, meski akhirnya tak berkesempatan lanjut karena tersandung mata pelajaran yang nyangkut. Disana, nyangkut 1 dengan status berkali remedial tanpa mampu lolos sama dengan gugur. Selamat tinggal sekian madah lain dengan nilai apapun, bye! -begitu kiranya deskripsi singkat sistemnya. *pukpukdirisendiri*

Dan sekarang full engaged dengan anak-anak. Dua balita. Eh, tepatnya satu balita dan satu bayi kicik 👶 Mencoba menikmati 'sekolah' jenis lain yang Allah hadirkan depan mata, setiap masa. Saat pertanyaan terlontar "lanjut sekolah lagi?", cuma senyum yang bisa menjawabnya... serta putaran pertimbangan dalam jelimet pikiran.

Belajar dari para suhu yang melanjutkan sekolah dengan status juga ibu rumah tangga, setidaknya ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi. Supporting system, dan skala prioritas.

Supporting system, lingkungan pendukung yang menjamin bahwa keputusan sekolah tidak banyak merugikan tugas lain. Apakah dan Siapakah supporting system itu? Ia bisa berbentuk lembaga atau person seperti suami, orangtua, babysitter, asisten yang bisa menghandle beberapa kerjaan yang termasuk  kategori bisa didelegasikan. Misal, jika anak sudah bisa bermain sendiri dengan kadar ketergantungan pada orangtua tak seperti fase bayi, keberadaan nenek-kakek atau asisten bisa jadi pilihan. Kalau jauh dari semuanya? Suami yang punya jadwal fleksibel dan tidak terikat penuh di institusi bisa menjadi supporting system. Kalau tak berjarak dekat dengan keluarga serta suami juga full terikat di luar, maka system bisa dikategorikan belum support. Kalau model kuliah cukup bisa diikuti di rumah jenis online atau universitas terbuka, atau memadai disambi, berarti bisa ceklis bagian ini. Lain halnya misal perlu hadir intens sementara keadaan di rumah tak bisa ditinggalkan lama. Bersabar hingga saatnya tiba, niscaya akan lebih indah. Bukankah dunia bergulir dan bergilir duhai Ibu? 

Jauuh sebelum semuanya, cek semula skala prioritas kita masing-masing. Akan terlihat beberapa kategori dari jenis-jenis aktivitas keseharian. Kalau dulu jaman masih ramping kinyis-kinyis suka nimbrung pelatihan dan seminar ini-itu, para trainer suka membahasakannya dengan kuadran penting-mendesak-tidak penting-tidak mendesak. Yaaa bicara teori begitulah ya, hanya saja prakteknya nggak pernah semudah teori, as always. 

Dengan jujur menyelami skala prioritas, juga akan terbentuk pola tugas yang bisa diwakilkan dan mana yang harus tangan kita -ibu dan istri, maksudnya- yang terjun langsung. Yang jelas, dalam setiap pilihan selalu berlaku kaidah hadits berikut; 

كلكم راع وكلكم مسؤول عن رعيته

Setiap kita adalah pemimpin. Dan setiap kita akan ditanyakan tentang kepemimpinannya. Tentang niyatnya. Tentang laku dan ucapannya. Tentang keputusannya

Mengambil keputusan sekolah itu artinya membagi diri dengan rela terikat di satu institusi, yang artinya sama dengan pertanggungjawaban legal formal. Menambah kewajiban? Sudah barang tentu ya. Bukan berarti mustahil, tapi juga tak berarti mudah. Bukan semata perkara waktu, tapi perkara kebermanfaatan diri dan pemberdayaan. Bukan tentang unjuk gigi, hanya lebih mengenai pertanggungjawaban diri.

Sejatinya, sekolah hanya salah satu komponen pembantu tata laksana kewajiban belajar yang ada di pundak tiap muslim. Jika benar hendak belajar, semesta akan menyajikan lapang-lapang. Di tangan kita letak pilihan; apa yang akan kau lakukan sebagai wujud syukur penciptaan? 

Cairo, 5/2/2017. 
Ada saatnya perlu membuka opsi lagi. Ah. Allah, meminta-Mu lagi dan lagi, untuk memutuskan. Semoga jadi bagian kepercayaan bahwa jalan yang Allah berikan selalu lebih indah. Paling indah. T e r i n d a h . 

#odopfor99days
#3

Comments