Refleksi Hari Pendidikan; Saat Ibu Harus Belajar

Suatu kali, beberapa bapak-bapak dalam kelas orangtua belajar terpaksa mengiyakan pesan sang guru. Mentor yang juga sesama berstatus bapak, dengan lugas berkata bahwa dari sekian tugas pendidikan anak dalam rumah tangga, tugas utama pertama Ayah  adalah tidak merusak didikan yang sudah dibangun Ibu pada anak-anaknya.

Dan tugas kedua, lanjut Bapak Mentor di tengah keterhenyakan para Ayah, adalah menyediakan sarana dan media peningkatan kualitas diri Ibu, demi memastikan anak-anak terdidik dengan baik. Jangan pernah terlalu jauh mengidentikkan 'sarana dan media' dengan seri handphone terbaru, s9-10-11 misalnya. Atau lamborghini mentereng (ish, apalah ini. Kayaknya lebih menarik Jeep yang siap offroad XD). Atau uang tanpa seri.

Jadi, apakah sarana dan media yang terjangkau dimaksud?

Waktu. Otomatis, di tengah rentetan rutinitas ibadah Ibu sehari-hari terkait urusan domestik, waktu luang bisa jadi amat minim dan sulit ditemukan. Tanyakan saja, rasanya kalaupun ada luang yang ingi dilakukan hanyalah meluruskan anggota badan, rehat sejenak. Maka bisa jadi, belajar hal baru dengan cara paling memungkinkan, yaitu membaca, tidak masuk dalam agenda harian. Gantian menjaga anak, sebentar saja. Atau sediakan orang untuk memegang anak. Atau bahu-membahu menyelesaikan pekerjaan rumah.

Materi. Bukan materi berbentuk uang atau barang. Tapi materi alias pelajaran. Bentuknya? Zaman sekarang sangat banyak kelas online yang memungkinkan Ibu menambah bekal diri tanpa keluar rumah. Cukup sedia jaringan aktif. Repot untuk standby saat kelas online? Masuk saja kedalam komunitas yang menunjang. Ah, jadi inget istilah basa sundanya yang sedang kekinian; community based learning. Grup whatsapp, grup Fb, grup-aneka grup. Kalau memungkinkan sikonnya, boleh sekali ikut agenda offline, model kelas intensif, atau seminar bebas. Kalau musimnya belum memungkinkan, misal belum ada support system memadai, mari nabung buku demi buku yang bisa dilahap sedikit demi sedikit. Beli buku fisik bisa, tak tertutup juga peluang e-book yang dibagikan ramai-ramai.

Apapun caranya, yang jelas itulah bentuk tanggung jawab dan peran besar pak suami dalam pendidikan keluarganya, tegas Bapak Mentor.

Di seberang para Ayah yang tertohok, sebenarnya ada juga para Ibu yang lebih tersentil. Bukan, mungkin terjewer.

Betapa rasa malas bukan pilihan untuk diakrabi. Apa jadinya kalau setiap hari Ibu menyerah pada kondisi yang menyebabkan kelelahan bertubi, lalu meninggalkan niat belajarnya? Hendak dimana ditemukan inisiatif meningkatkan kualitas diri, alih-alih dengan seenaknya menyalahkan lingkungan dan orang lain saat anak terpapar nilai negatif?

Tentu, semua sarana, media, fasilitas tak ada gunanya tanpa ada tangan yang tergerak mencari. Tanpa ada mata yang siap membaca lebih panjang. Tanpa ada kaki yang melangkah lebih kukuh. Tanpa ada niat dari hati yang sadar urgensi. Dan alat paling inti adalah diri kita sendiri, wahai Ibu...

Huhu. Rasanya saat itu seperti tertampar keras. Apalagi belum lama ini menolak opsi melanjutkan sekolah formal tahun ini yang ditawarkan suami, serta dimotivasi Ibu (serta pesan alm. Ayah dulu kala).

Dan saat ini, di sela-sela jadwal kelas pengganti sekolah formal yang saya ajukan, ingin rasanya menuturkan terimakasih tak terhingga untuk pak suami yang amat kooperatif dalam memerankan tugasnya. Tak jarang harus menjaga si kecil di hari libur sementara ibunya 'belajar'. Juga alm. Ayah serta Ibu yang tak henti memotivasi. Merekalah guru utama dan pertama. Juga atas kesabaran tiga orang tersebut, serta para guru, -asatidza dan ustadzaat di semua masa- menghadapi lintasan keinginan yang kadang meletup tak terduga (dan seringkali tidak jelasnya) dari seorang saya. Di atas segalanya, syukur terus terpanjat untuk Allah yang menghadirkan sosok-sosok istimewa tersebut.

Jelaslah, setiap hari sejatinya adalah hari pendidikan. Bukan melulu tentang mendidik orang lain, tapi lebih pada mendidik diri terlebih dahulu daripada siapapun.

~ Kairo. Mei, 5. 2016
refleksi hari pendidikan nasional yang sudah lewat beberapa hari lalu. Teriring doa; Allahumma waffiqna wa waffiq asatidzatina fiima tuhibbu wa tardhaahu.

Comments