Saat Anak Mulai Dirasa... #2 Ajaib dengan Keremehannya ; Dari Upil yang Tenggelam


Jaga baik-baik barang berharga anda.

Mungkin himbauan di atas sering dijumpai tertempel di dinding masjid, pintu taman, kamar mandi umum, atau ruang umum sejenis. Apa yang terlintas dalam benak ketika disebut barang berharga? Ya semacam hape, dompet, uang, tas belanjaan beserta isinya, juga anak. Kehilangan salah satu dari barang berharga bisa membuat kita gundah dan serta merta mencarinya dengan segala cara. Emosi tercampur aduk, rasanya ingin membuka tabir rahasia bumi; dimanakah gerangan benda dengan harga berharga itu berada?

Siang itu, saat baru menginjak lantai dapur hendak menunaikan tumpukan alat makan untuk dicuci, suara tangis memecah konsentrasi. Ada apa ya? Rasanya tadi anak kesayangan sudah asyik bermain balok bersama boneka. Urung meneruskan pekerjaan, pertanyaan saya keluar spontan, "ada apa nak?"

Si kakak lantas menjawab di sela tangisnya, "Tenggelam, Ma". Mencoba mendeteksi suaranya yang sayup, diperkirakan si Kakak berada di kamar mandi. Oh, no. Langkah kaki segera terayun cepat menghampirinya.
Setelah menuntunnya keluar dari kamar mandi dan memastikan keadaan aman -tidak ada insiden jatuh-, ternyata si Kakak baru saja mencuci tangan sebab ada cairan ingus yang menempel di punggung tangannya, serta baru saja operasi pengeluaran kotoran agak kering dari hidung, alias, ehm mengup*l. Lalu apa yang tenggelam? Upil. Iya, upil.

Saya menelan ludah mendengar jawaban si Kakak yang agak di luar perkiraan. Jadi menangisnya karena tenggelamnya si upil? Alhasil sepanjang melanjutkan pekerjaan rumah hari itu, benak saya terlibat pada kejadian remeh tapi antik sekitar upil.

O betulkah remeh?
Nampaknya saya sudah benar-benar jadi orang tua, yakni orang yang sudah tua. Yang sering lupa memposisikan diri di hadapan pikiran dan tindakan anak kecil.
Lupa, bahwa anak kecil yang Allah hadirkan di dunia selalu punya kali pertama lagi istimewa dalam memperhatikan sesuatu. Sehingga banyak hal yang lumrah bagi dewasa, adalah sesuatu yang bernilai di matanya.
Upil buat saya, dan mungkin jutaan orangtua lainnya, cuma sekedar upil. Kotoran hina yang cuma patut dibuang. Selesai perkara.

Kalau lagi luang, mari bersama otak iseng saya mereka-reka nilai sebuah upil buat makhluk muda buah hati kita.                     
Mungkin itu hasil perjuangannya?
Mungkin ada rasa memiliki yang mendorong ia tidak rela jatuhnya?
Mungkin kesadaran akan harusnya dibuang di tempat sampah tapi malah jatuh di bak, memunculkan tangisnya?
Mungkin, entah karena sebab di atas atau lainnya, upil benar jadi barang berharga baginya?

Dan bahasan ketika kelas khusus orangtua beberapa pekan lepas mengemuka. Pak guru memberi contoh, seorang anak kecil melihat tikus. Kali pertama mungkin, sampai takut membelit dan membuatnya terpaku. Beruntung ia dikaruniai kakek bijak yang rela ikut mengintip setengah jam lalu mengendap-endap dan jalan berjinjit demi menghargai ketakutannya. Tanpa cela "ah tikus itu lebih kecil dari kamu, loh" atau "masa gitu aja takut sih".  
~gampang ya? coba dulu satu waktu ikut hanyut dalam emosi ala anak, setengah jam bukan mudah, ternyata...

Lahir sebagai kertas putih, anak belum lagi mengetahui benar dan salah. Juga masih belajar mengenali perasaannya. Dari mana? Dari re-aksi. Ia menyimpulkan ragam 'kebenaran dan kesalahan' dan menganut nilai dari re-aksi yang diberikan orang lain terhadap perbuatannya. Oleh sebab itu, pesan paling penting menghadapi anak dengan segala keajaibannya -yang kadang cuma hal remeh- adalah, selalu perhatikan perasaan anak saat merespon. Menanggapinya dengan "ah cuma ini aja" sama dengan menyampaikan pesan bahwa perasaannya tidak benar dan ia sudah salah besar. Padahal dalam konteks perkembangan anak usia dini, kepercayaan diri berbanding lurus dengan rasa aman dan percaya akan dunia, termasuk dari sosok sekelilingnya, lebih lagi orang tuanya. Bisa dibayangkan apa yang terjadi kalau setiap hari kalimat di telinganya terdiri dari rupa cemoohan dan celaan?
Kepercayaan diri yang belum lagi terbangun kokoh akan cepat terkikis. Mungkin, esok atau lusa akan bertambah daftar pemeran 'anak yang tertukar' sebab lebih merasa tidak berharga dan tidak seharusnya ada.

Lalu, pada siapa dunia akan meletakkan tongkat waris peradaban, jika generasi berkubang dalam rendah diri?

Lama-lama, jelas terasa betapa sungguh pemakluman dan tawa yang tersimpan rapi dalam senyum simpul menanggapi 'peristiwa istimewa' versi anak-anak, jauh lebih murah dan mudah daripada generasi tanpa percaya diri. Mungkin cukup ambil saja upil yang tenggelam itu setelah ikut serta menyatakan kegundahan yang sama dengannya.

Besok atau lusa, bersama anak kita juga bisa belajar paham bahwa semesta memang luarbiasa berharga, meski dengan segala kesederhanaannya.

Cheers you, mommies!

Kairo. April 2016.
Catatan dari dan untuk diri; Ibu di perjalanan belajarnya sekaligus mendampingi belajar anaknya.

Comments