Saat Anak Mulai Dirasa ...

#1 kurang konsentrasi

Hari itu, satu acara cukup bagus memaksa saya meneguhkan hati mengikutinya bersama seorang anak umur 2 tahun yang lagi heboh-hebohnya. Peralatan penunjang mulai disiapkan. Sesampainya di tempat acara, ternyata menyenangkan melihat nasib yang tidak sendirian, serasa menemukan kawan sepenanggungan ketika menjumpai beberapa ibu harus membawa serta anaknya juga. Dan agaknya pemakluman akan keriuhan anak-anak yang akan menyelingi acara menjadi satu kelegaan tersendiri; ibi senang karena masih bisa meraup manfaat meski konsentrasi harus ekstra, anakpun bahagia bisa tetap bersama tokoh utama kisah hidupnya -sang Ibu-.

Di tengah acara yang tak luput dari anak-anak, sungguh amat memungkinkan terjadinya banyak insiden yang menguji kesabaran. Anak saya si Kakak juga tak jauh berbeda. Kartu mainan tema bentuk yang lagi jadi favoritnya sudah digelar. Majalahnya terbuka berserakan disertai coretan pensil warna. Lembaran soal latihan menarik garis yang dia minta sudah habis dan mulai dilipat serta dirobek bebas. Boneka beruang kecil sedang ditimang, dedeknya mau bobo, kata si kakak. Bonus rentetan celoteh dari sang kakak, jadilah tambah seru. Anak-anak lain tak kalah sibuk. Bersyukur, mereka anak-anak yang patut bahagia karena masih dapat ruang berekspresi di dunia nyata. Sebab, berapa banyak kepala yang terkotakkan di dunia maya tanpa bisa menikmati hidup sesungguhnya?

Sampai, telinga saya berjibaku dengan kalimat seorang Ibu di sekitar saya. "Anak ini, kenapa sih susah banget diajak konsentrasi? Kayaknya nggak pernah bisa tahan ngerjain sesuatu. Paham nggak sih kalau dikasih perintah? " Sang ibu terdengar mengeluhkan anaknya yang kelihatannya setahun-dua tahun di atas si kakak. Mungkin anaknya sedang diberi tugas tertentu biar tetap terkendali selama acara. Oya, tidak lupa ekspresi melotot yang mengiringi kata-katanya. Saya masygul; namanya juga anak-anak ya bu... Kemampuan bertahan fokusnya masih jauh dibanding orang dewasa. Ya iyalah ya.. -_-

Lalu mata saya beralih menatap si Kakak. Mungkin beberapa kali sempat terlintas pikiran serupa, -apalagi dalam kondisi hebring bin ajaib ala hubungan labil emak dan anak--apalagi kalau lihat rumput tetangga lebih hijau alias anak tetangga lebih keren jadi tambah stress- betapapun saya coba menepisnya keras dengan mengingat standar tumbuh kembang anak dan menguatkan sugesti, all is well; insyaAllah akan baik-baik sajoo. Dan mungkin belitan keluh 'kok anak ini nggak fokus sih' cukup banyak menjerat orangtua lain.

Sedetik kemudian, benak saya teringatkan rasanya ditampar keras 'warning' di dinding laman media sosial yang sempat mampir, tentang seberapa besar peluang kita -orangtua- dalam memajukan daya pikir anak, atau sebaliknya; justru menghambatnya.

Ya, anak-anak ibarat halaman kosong. Yang akan menuliskan warna mulanya tentu orangtua. Maka, sebelum berkata, "Anakku kurang konsentrasi, dia sulit paham kalau diajarkan, daya tangkapnya rendah", mari luangkan waktu menjawab beberapa pertanyaan di bawah ini;

1. Seberapa sering penggunaan teriak dan mencela dengan nada tinggi? Kalau memang sering, ketahuilah bahwa teriakan kita sudah meningkatkan hormon adrenalin pada anak yang kelak menghambat kerja memori.

2. Sudahkah memberi peluk hangat dan kasih sayang dalam cerita pengasuhan hari ini? Jika tidak, maka sesungguhnya kita sudah mengurangi penghasilan hormon endorphine. Padahal hormon ini berfungsi membawa rasa bahagia dalam jiwa, yang nantinya akan membuka simpul-simpul fokus serta konsentrasi anak.

3. Apakah kita sudah ikut serta dalam kegiatan yang meningkatkan talentanya? Sebab bakat atau passion seseorang akan membantunya berada dalam titik optimal kemampuan otak.

Memang apa bakat dan minat anak saya ya? Mengetahuinya bisa lewat jalan visit ke spesialis atau pusat tumbuh kembang anak, atau lewat jalan memberikan aktivitas variatif untuk anak.

** tetiba teringat konsep pendidikan bu Septi founder IIP; pada masa awal usia anak -utamanya sebelum baligh-, sangat disarankan memfasilitasi anak dengan ragam kegiatan, juga dengan talent tour, alias mengunjungi orang/komunitas/tempat yang beraneka rupa, lintas bidang kegiatan, demi memberikan wawasan luas yang menunjang penemuan bakat anak. Nah, kuncinya ada di orangtua lagi, dan lagi deh.. *tunjuk dirisendiri.

4. Seberapa sering penggunaan kalimat negatif dan label jelek, seperti bodoh, payah, dalam komunikasi sehari-hari? Sebab kata dan kalimat-lah yang akan menyetel program pada diri sang anak. Bagaimanalah kiranya jika label jelek lebih dominan terngiang di telinga sang anak? Jadi, sebelum mulai berkisah tentang konsentrasi anak, mari cek segera interaksi kita dengan anak...

Lalu, kalau sudah beres semua tapi masih ada indikasi serius tentang konsentrasi, dalam artian perlu penanganan lebih lanjut, jangan ragu berkawan dengan spesialis tumbuh kembang anak, sebab kita-lah yang seyogyanya ngeh dengan anak kita, kalau bukan kita siapa lagi?

Ah, tersadar lagi. Rupanya PR terbesar bukan pada pundak anak ya. Justru ada di kita; para orangtua. Para manusia biasa yang tertitipkan sebuah amanah berupa manusia baru. Mungkin, di tangan manusia baru inilah kelak dunia akan mengalami masa jayanya. Bukan cuma dunia, tapi islam kita juga. Kita yang menentukannya, dari model pengasuhan kita saat ini.

Intinyaa sih, Selamat terus belajar dan berbenah sama-sama yuk, orangtua sedunia *salimsatu-satu*

Kairo, 17 Maret 2016.

Ibu di ujung dunia yang sedang berupaya meneguhkan diri dan hati, memetik hikmah dari hari-hari, menyemai cinta di rumah semesta.




*psst, jadi pengen bikin series dari tulisan ini deh. Ehm ibu-ibu kebanyakan kepengenan nih. Just wait and see ya.. 😄

Comments

  1. Pertanyaan-pertanyaannya cukup menohok saya :(
    Iya yah, jadi ortu itu tugas berat:)

    TFS Mbak :)

    keluargahamsa(dot)com

    ReplyDelete

Post a Comment