Kaya dalam Perjalanan

Semakin lama, saya semakin menyadari hitungan jam yang dihabiskan dalam perangkutan umum memakan porsi cukup besar dalam kehidupan. Hitunglah mulai dari menunggu mobil datang, lalu perjalanan sampai tiba benar di tempat tujuan, plus macet akibat semrawutnya tata lalu lintas. Kairo memang hampir tidak jauh beda dengan Jakarta di beberapa sudut jalannya.

Hal ini membuat siapapun terpaksa memutar otak mencari cara menghabiskan waktu perjalanannya. Atau kau akan termasuk dalam bagian orang yang terlalu cepat menua sebab gagal menikmati suasana kota dengan segala suka duka dan printilannya.

Buat sebagian orang yang tahan membaca dalam mobil, berlembar halaman mungkin bisa dilahap dalam jangka satu kali jalan. Atau hanya sekedar cek perkembangan jejaring sosial dan menjalin interaksi dunia maya lewat aneka fasilitas chatting. Yang kurang tahan menatap halaman buku juga halaman media sosial, tapi mampu bahagia dengan alunan suara bisa menyetel audio -lagu atau murottal yang memandu murajaah hafalan, misalnya-.

Golongan yang tidak sanggup baca dan optimalisasi audio bisa apa? Ehm. Setelah sekilas saya amati -dan rasakan 😂-, ini mungkin kasusnya sama seperti ibu yang membawa anak. Mau baca buku sudah kebayang rebutan sama anak. Pasang audio khawatir mengalihkan dari anak, siapa tau nanti anak bertanya tapi ibunya malah loading lama. Mau pegang hape pasti anak tertarik juga. Masa rebutan di tempat umum? Ah kurang kece gimana gitulah 😎

Dan apa yang bisa dilakukan golongan ini? Sebelum frustasi, dulu akhirnya saat sedang menunggu mobil dan menunggu tiba, ditemukanlah 'nilai' yang harus diupayakan. Bahwa agaknya memang saya perlu belajar seni menunggu. Sebab mungkin hidup kita seringkali berjumpa rupa-rupa fase menunggu. Bukan cuma menunggu angkutan, bisa jadi menunggu kawan janjian, menunggu antrian wc atau menunggu jodoh. Ehm. Gagal menikmati masa menunggu ini dapat berimplikasi pada kesuraman masa kini dan masa depan.

Jadi, apa yang bisa dilakukan golongan ketiga, tanpa membaca buku dan pasang audio?

Membuka percakapan dengan orang di pinggir kanan-kiri mungkin bisa jadi pilihan, hitung-hitung menambah umur dengan silaturrahim.

Apalagi?
Pernah mendengar istilah membaca tanda zaman? Berat yah. Iya memang, untunglah bahasan disini belum terpaksa menyambung dengan topik berat itu, heuheu. Mungkin kalau saat ini mari kita bahasakan dengan membaca dunia sekitar, mengeja alam raya. Bedakan antara 'membaca' ini dengan sekedar menatap kosong pinggiran jalan atau tetaman yang dilewati. Sebab sekedar melihat sisi kanan-kiri jalan mungkin tak akan mendatangkan sebongkah hikmah yang tercecer. Hanya dengan niat membaca-lah kita dapat mengunggah permata baru yang barangkali akan memperkaya nilai-nilai jiwa.

Satu ladang beda pandangan, beda penghasilan.

Memandang langit biru dan awan putih yang terbentang, sepasang mata bisa menangkap kelapangannya lalu terinspirasi mengadopsinya. Betapa riuh dunia membutuhkan kelapangan dada menerima.

Melihat anak kecil yang sibuk berkomentar dan berulah ini-itu, mungkin darinya kita bisa belajar akan daya kritis dan imajinasi yang patut dijaga. Karena cemoohan dan reaksi lingkungan sangat berdaya mematahkan dua pedang itu di hari-hari depan.

Menyaksikan lelapnya seorang bapak berumur, sangat bisa membawa serta rasa syukur akan jeda yang mengizinkan rehat hadir sejenak. Atau mungkin menginspirasi mata untuk memejam sebentar --ooh ini berharga sekali buat ibu yang bawa anak :)-. Atau juga bisa menghadirkan bait biru tentang kerinduan akan orangtua yang pergi dengan sejarah keringat demi keluarga.

Apapun... Asal kita berniat dan berupaya menjelajahi samudera hikmah, insyaAllah takkan ada yang sia-sia. Termasuk waktu menunggu kita.

Esok atau lusa, mungkin kita bisa membuat judul lebih indah; dalam perjalanan kutemukan nilai.

Kairo, Maret 29, 2016.
~dari masa berkualitas berjudul pergi berdua dengan teman paling baik ; your daughter is your best friend. Cheers, mommies! 😘

Comments