Belajar Pada yang Muda, yang Berkarya

Pemuda itu terhenyak. Momen tersedihnya di umur tiga belas tahun ternyata terjadi disini; di hadapan Lelaki Agung, Muhammad SAW. Umur ternyata memisahkannya dari pasukan yang sedang bersiap menuju medan perang Badar. Panggilan mulia yang bersumber dari legalisasi syari'at untuk membela risalah suci sudah memenuhi benak sang pemuda dan mengisi detak nafasnya.

Tapi ternyata, umur yang memisahkan sang pemuda dari baris pasukan muslimin. Pemuda yang telah memantapkan hatinya tersebut beranjak menemui Nabi, menyampaikan maksud yang menjadi citanya sepanjang hari. Nabi mengamati sang pemuda usai mendengarkan kata-kata yang keluar darinya. Umur yang masih sangat belia, bahkan belum mencapai tahap mukallaf. Bahkan tingginya pun belum lagi menyamai pedang yang akan menjadi senjatanya. Akhirnya Nabi memutuskan tidak memperkenankannya bergabung. Pemuda tiga belas tahun itu menangis dan lantas berlari kembali pada sang ibu dengan airmata mengaliri pipi serta lisan yang mengeluhkan betapa berat hatinya menerima keputusan -larangan- Nabi. Bagaimanapun, larangan Nabi adalah larangan hatman, lazim ia terima meski sedih menjadi kawannya.

Ibu sang pemuda menangkap cita buah hatinya, membalasnya dengan kejernihan hati, mengalihkan semangatnya untuk menekuni dunia baca-tulis. "Kuasailah keduanya, niscaya kita akan membantu Rasulullah Yang Mulia", sambut sang ibu. Sang pemuda segera tanggap dan menjalankan saran ibunya; menumpahkan geloranya dalam semesta ilmu. Ya, ternyata kecerdasan sang ibu yang menyalurkan semangatnya dalam medan lain menurun pada laki-laki muda yang tertolak dari pasukan. Beberapa masa berselang, pemuda bersama sang ibu mengulangi adegan yang telah lalu, mendatangi Nabi dengan sepenuh harap dan cita. Dengan bekal yang berbeda; kali ini ia sudah bisa dikatakan menguasai baca tulis dan terasah dalam bidang bahasa. Nabi terpesona pada kecerdasannya. Kelak sejarah mencatatnya sebagai seorang linguist, yang mampu menguasai beberapa bahasa tersulit di dunia, bahasa Ibrani dan Suryani (Syiria) dalam waktu singkat di umur yang masih sangat belia: Tiga Belas Tahun! Dengan kemampuan itulah kemudian seorang pemuda bernama Zaid bin Tsabit mencatatkan amal unggulannya: berperan dalam jalan cita sebagai juru runding Nabi Yang Tercinta, dan bagian dari mereka yang terpercaya sebagai penulis wahyu.

Membaca sejarah memang selalu nyaris mampu memberi warna baru dalam kehidupan masa kini. Dan sejarah sejatinya selalu memberikan kita sebuah kaca untuk terus bercermin dalam berbagai sisi. Termasuk dalam kisah pemuda tiga belas tahun yang kemudian memainkan peran dalam dunia. Sebab apa yang mendorongnya mengemuka di tengah badai kecewa atas penolakan dan nikmat masa muda yang menggejala? Salah satu jawaban spesifiknya adalah cinta.

Ya, cintanya pada Sang Pencipta yang telah bermurah hati memberikan beribu karunia baginya. Cintanya pada Sang Terpilih, Lelaki yang Dicinta dan Mencintai Ummatnya, Muhammad Rasulullah SAW. Cintanya pada semua itu melampaui rerata capaian pemuda berumur 13 tahun selainnya.

Bagaimana dengan kita? Hidup di tengah kenikmatan tiada tara; masih dikaruniai nafas leluasa tiap detik, dengan perut terisi kenyang, dengan kasur yang tergelar nyaman, dengan uang yang mengisi kantong, dengan anggota raga yang lengkap dan tanpa cacat, dengan akal yang masih bekerja, dengan pedoman hidup, Al-Qur'an yang bisa dibuka kapan saja tanpa rasa takut akan penguasa yang represif membantai, dengan akses informasi yang bisa diraih dalam satu klik. Sungguh sempurna, bukan?

Dan yang perlu kita lakukan hanya membulatkan tekad, lantas beranjak dari tempat duduk untuk bergerak. Bagi yang berdaya menggerakkan tangan, mari membuat perubahan dunia menuju yang lebih baik dengan gores pena. Bagi yang berdaya mengerahkan tenaga, mari berpayah menjadikan masa hidup di dunia sebagai masa terindah untuk dikenang di akhirat kelak. Bagi yang mampu menguasai berbagai macam ilmu, pastikan kemampuan menyerap ilmu yang Allah berikan membuahkan manfaat dalam membentuk peradaban manusia yang lebih bermartabat. Sebab bagaimanapun, satu hakikat yang tak terbantahkan adalah, fakta penciptaan bahwa manusia diciptakan dengan sebaik bentuk untuk beribadah pada-Nya.

Sebaik bentuk yang Ia karuniakan, ikrar cinta yang kita lafazkan tiap shalat, membutuhkan bukti nyata. Dan menjadilah, muslim berdaya yang tak lelah berkarya, apapun bentuknya!

untuk buletin Citra, Edisi 3 Maret 2012

Comments

Post a Comment