Belajar dari Jemari

Dunia kali ini dibuat tercengang oleh satu lagi kenyataan huru-hara sengketa jari-jemari. Dalam sidang tentang sepotong kue tart besar berbungkus coklat yang tergelar di atas meja, jempol si ibu jari memulai letupan dengan berseru lantang, "Biar aku yang mengambilnya. Aku yang paling hebat disini, sebab diriku simbol penghormatan bagi orang lain".

Telunjuk menggeleng segera, ialah yang paling berhak mengambil kue, sebab telunjuk berperan mengarahkan dan menunjuki jalan. Satu tugas mulia, bukan?

Klaim telunjuk tak urung memancing perdebatan kian meruncing. Jari tengah mencibir dan berkata nyinyir, "Lihatlah bentuk kalian. Tak ada yang sesempurna diriku. Akulah yang paling tinggi lagi ramping".

Jari manis tak mau kalah, sambil mengacungkan cincin bertahtakan berlian menyanggah, "Akulah yang terkaya di antara kalian".

Dari awal, kelingking yang berdiri di pojokan kian tersudut. Adat dan kebiasaan di dunia makhluk bernama manusia tak pernah memberinya gelar seperti salah satu dari empat kawannya. Namun bukan berarti ia tak berguna. Selama ini, ia terus bekerja menggapai sela terkecil dalam rongga manusia yang tak dapat dijangkau jemari lain, dan membersihkan kotorannya.     

Sidang pembagian kue memanas, mengingatkan akal selaku pimpinan pada kabar yang sempat ia dengar bahwa hal serupa terjadi pada manusia. Persis seperti berebut kue antar jemari.

Baru kali ini ia merasakan, begini rupanya dunia makhluk pandai bernama manusia dalam bentuk individu maupun kumpulan, yang penuh dengan hawa seteru. Awalnya mungkin hanya geliat ego yang menelingsut dalam langkah organisasi. Hanya sekilas hubb az-zhuhur, gemar bereksebisi demi pamor atau hobi unjuk gigi atau apalah sebutannya, yang membercak di selimut hati saat jiwa raga bergegas bergerak. Namun nyatanya, hubb az-zhuhur  kemudian menyubur. Sama saja ketika mengatakannya atas nama gharizah al-baqa` wa al-khulud; naluri untuk terus abadi dan kekal baik dalam keturunan maupun sebutan lisan, fitrah manusia sejak lahir. Atau melegitimasinya dengan undang-undang, pun berdalih demi kebaikan bersama. "Kita sama-sama mencoba bermanfaat bagi sekeliling" keluar dari mulut pribadi atau organisasi.

Entah kemana perginya sebuah kaidah berharga dalam kehidupan bersosial dan berorganisasi yang menjadi bagian tak terpisahkan dari manusia, kata hikmah yang keluar dari lisan para pendahulu: "Al-haq bila nizham yaghlibuhu al-bathil bi nizham", kebenaran yang tak terorganisir rapi akan terkalahkan oleh kebatilan yang terorganisir dan tertata rapi. Al-haq, bisa berupa alasan demi kebaikan bersama atau niat serta tujuan bermanfaat, bisa jadi terkalahkan oleh al-bathil berupa penyakit hubb az-zhuhur yang berlebihan, atau gelegak hawa nafsu yang disusun rapi.

Memang, tiap individu dan kumpulan individu memiliki kebebasan untuk berbuat dan berperan. Seperti jemari di atas. Tetapi menghadapi sepotong kue, yang diperlukan bukan saja keinginan dan kemampuan berbuat. Jempol bisa saja mengklaim paling mampu mengambil kue karena ia paling besar, tapi nyatanya yang terambil hanya akan berupa cuilan kecil dari potongan kue. Begitu juga telunjuk dan kawan jemari yang lain. Jalan satu-satunya mengangkat seluruh potongan kue ke dalam mulut hanyalah kerjasama di samping sama-sama bekerja. Dan satu elemen penting mendudukkan peran dalam bingkai kerjasama adalah kelapangan hati, segera sebelum kue mulai menjadi remah cuilan jari jemari dan sebelum panas dingin menjalar anggota badan sebab kelingking mogok kerja dan memblokade seluruh saluran keluar tempatnya kerja membersihkan kotoran.

dimuat di rubrik kontemplasi Suara PPMI 2011-2012, edisi 1, dengan tema umum: sinergi. 

Comments

  1. jzk Fy. :)

    somehow, aku bersyukur kita mengalami fase yang sama: 07yang08. :D

    ReplyDelete
  2. somehow, wafy juga penuh syukur sempat bertemu ifah :)
    btw, 07yang08 apaan tu Faah? :D

    ReplyDelete

Post a Comment