Tampak Muka, Atau Apalah..

Lama sekali kata-kata saya tidak menjejaring. Ah ya, kali ini biarkan saya bergerilya dengan diri, mendiagnosa klaim kesehatan pribadi sehari-hari. Maka mohon maaf jika terlalu berantakan untuk dikatakan satu tulisan.

Tas ransel hitam yang masih setia menemani langkah saya kemana-mana, eksis sejak masa aliyah di pondok. Usia perlahan menggerogoti performanya; tali asli yang sudah diganti hasil permak orang tua saya, resleting yang macet dan harus diganti dan sudah tak berkepala. Kepala resleting? Ah ya, sebenarnya istilah itu terpaksa saya pakai disini karena kebingungan saya mengungkapkan benda itu. Yang pasti, yang saya maksud 'kepala' resleting itu adalah, terusan bulat kecil untuk menarik resleting. Nah, yang terakhir ini yang cukup mengganggu saya, cukup sulit juga hanya mendorong resleting maju-mundur tanpa ada kepala yang bisa diandalkan untuk ditarik, setidaknya menjadi pegangan ketika membuka dan menutup tas.

Dan akhirnya saya suka tidak suka, terpaksa memasang gantungan kunci disana. Tiga bulan berlalu, dua kali ganti gantungan kunci. Gantungan pertama berbentuk hati merah jambu, oleh-oleh adik laki-laki saya dari rihlahnya ke Wisata Guci, Tegal, lepas dari resleting di tengah bus. Posisinya digantikan gantungan kotak Al-Azhar berwarna biru, bingkisan dari Muslimah Cendekia, sayap perempuan Orsat ICMI Kairo. Nah, yang satu ini lebih tragis nasibnya. Sebulan saja dipakai, gantungan kotak ini sudah lepas. Lebih parah karena saya sendiri tidak pernah menemukannya. Bosan, akhirnya saya biarkan saja lingkaran sisa gantungan kotak nongkrong di resleting tas hitam itu. Jadilah sekarang saya memakai lingkaran bulat polos tanpa gambar dan gandul. Beberapa minggu, saya baru menyadari ternyata lingkaran bulat lebih sesuai dan nyaman dipakai.

Pertama, ergonomis (aish, persis kayak iklan sendal-sepatu, eh, atau malah iklan mobil? entahlah). Karena jari telunjuk saya bisa masuk dan menarik resleting lebih leluasa, bukan cuma sekedar menarik gantungan kotak yang tadinya disana. Tenaga menarik resleting pun jadi terpusat di telunjuk. Kedua, lucu. Simpel. Cuma besi berbentuk lingkaran.

Lalu, as i guess, pasti ada saja komentar orang. "Aneh lu ah, fy.." atau "Dih, culun. Ganti sana." jawaban saya pasti, menggeleng. Nope, saya punya banyak gantungan kunci. Alasan mengapa saya tetap memakai lingkaran seperti ini bukan karena motif ketidakpunyaan sama sekali Dan jangan harap saya mengganti hanya karena pendapat orang. Kalaupun suatu saat ada perubahan, biarkan ada alasan lebih dari sekedar enggan dikomentari orang. Satisfying people is tiring, isn't it?:D    
Ah ya, yang cukup mengesankan sekaligus mengesalkan bagi saya, sebagian besar saran atau komen yang muncul mayoritas berdasarkan kepentingan penglihatan saja; tidak bagus dilihat, ketinggalan zaman, nggak gaul, dan serentet kalimat yang mengarah pada satu titik: tampak muka. Huft.. Saya bukan ingin mengeliminir urgensi tampak muka dalam sisi kehidupan. Tampak muka itu penting, bukankah seringkali kita dengar, nahkumu bi adz-dzawahir. Makhluk mengambil kesimpulan dari yang terlihat oleh mata terbatas, that's it. Walaupun seringkali juga kita menyanggah, don't judge the book from the cover. But, bukankah the cover tells something, and almost everything? Selain menyadari penting tampak muka, satu hal lain yang perlu disadari di saat yang sama namun nyatanya seringkali terlupakan adalah, tampak batin. Jadilah kepedulian terhadap tampilan depan tidak diiringi kesadaran untuk terus membenahi kondisi batin. Efek samping dari ketidakseiringan antar keduanya akan memunculkan kepedulian pada tampak muka yang tak terkendali bahkan irrasional. Jika pada saat normal acapkali alasan menjadi asas penting ketika melakukan sesuatu, maka di titik ini akal tidak lagi memberikan pertimbangan apa dan mengapa.

Dan para pemain Konspirasi tampaknya kenal benar dengan penyakit akut yang berpotensi melanda manusia selaku makhluk yang dibekali gharizah al-baqa'. Keinginan untuk eksis, yang kemudian dieksplor habis-habisan di sisi penampilan. Semua lini kekuatan manusia subjek -dalam hal ini Konspirasi- mulai dibuat mendukung penuh proses pemusatan perhatian manusia pada penampilan, tampak depan. Energi manusia objek terkuras di wilayah tampak muka, maka tak lagi tersisa energi bahkan hanya untuk sekedar menggandeng tangan saudara seiman. Enyah sudah gema manusia diciptakan untuk beribadah sebagai khalifah di muka bumi!

Ops, maaf jika kata-kata saya sinis sekali pagi ini. Sungguh, ini hanya sekedar memberi sedikit porsi perhatian pada penyakit rawan yang mungkin sedang melanda umat manusia, sekaligus memberi peringatan sekaligus tamparan keras terhadap diri saya sendiri yang termasuk dalam keluarga besar umat manusia. Tapi lagi-lagi, saya bukan menginginkan eliminasi perhatian pada tampak muka. Hanya saja, peduli fungsi akan lebih membantu kita hidup di jalur prioritas dalam perjalanan singkat kita di atas bumi. Hei, jangan tanya lagi apa fungsi kita; sama seperti jangan kau tanya lagi, apa sebenarnya nilai tambah kita sebagai seorang muslim sebagaimana teman saya pernah bertanya. Tidakkah pernyataan-Nya, "dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah pada-Ku", lebih dari cukup sebagai jawaban?

"Wahai manusia, engkau memang memerlukan bagianmu dari dunia.
Tapi engkau lebih memerlukan bagianmu di akhirat.
Jika bagianmu bermula dari akhirat, maka bagianmu kepada akhirat akan terlewati.
Maka aturlah dengan sebaik-baiknya.
Tapi bila engkau memulai dari bagianmu di dunia, maka bagianmu di akhirat akan hilang,
Sedangkan bagian duniamu terancam bahaya."
(Mu'adz bin Jabal Ra.)

Jam pagi, 29 Juni 2011
Memperingatkan sakit diri sendiri after lil discussion at night.
Allahumma arinal haqqa haqqan warzuqna ittiba'ahu. Wa arinal bathila bathilan warzuqna ijtinabahu.

Comments

  1. bagus Fy,,
    dan Islam sangat menghargai tampak muka pula, "senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah".. :)

    ReplyDelete
  2. "...maka bagianmu kepada dunia" bukan?
    Mgkin krna org yg memperhatikan akhirat—sbgmna Islam yg seimbang dunia-akhirat—scra otomatis akan memperhatikan dunia, dan  tidak sebaliknya.
    Ketika membahas perkara kibr, Rasul pernah ditanya, "Bagaimana jika seseorang ingin memiliki sendal dan pakaian yg bagus, apakah termasuk kibr?" Rasul memberikan jawaban syamil: Innallaha jamiil wa yuhibbul jamaal, baru kemudian memberi defenisi kibr yg sesugguhnya.
    Setelah melihat rambu² Islam dan menata niat, urusan penampilan sptnya kmbali kpd pribadi masing²: yg tidak rapi inside mmg akan tampak berantakan outside dan pribadi yg aslinya rapi, luar-dalam jg akan demikian.
    Judge book from its cover, that's what the cover designers are paid for :)
    *dijaman dimana semua org mmperhatikan zahir, mmg kita butuh sekali nasehat² utk menengok kpd batin; tfs.

    ReplyDelete
  3. karena begitulah batas penglihatan kebanyakan manusia. Padahal as long as we stay d mesir, tampak muka adalah hal yang kesekian. Kalo inget tampak muka para masyayikh, 'ulama, muhsinin, de el el, we've already know the real thing. Just feel it comfortable n smile..

    ReplyDelete
  4. kalo di catetan an, bagianmu kepada akhirat. dan kalau redaksinya begitu pun tetep satu makna: dunia juga terlewati otomatis karena dunia sebelum akhirat. Eh, iya nggak ya? Wallahu a'lam :)
    u r welcome.

    ReplyDelete
  5. emang Teh, di mesir suka tertegur sendiri, jadi mikir ulang prioritas dan compare ke diri sendiri. lumayan jadi renungan :)

    ReplyDelete
  6. Ifah, k'Rian, teh Ishmah: hapunten, maaf, afwan baru reply sekarang:) Semoga Allah melindungi dan meridhai semua..

    ReplyDelete

Post a Comment