Polusi Cinta

Hari ini aku marah atas polusi cinta yang mengerubung lingkunganku. Lihat! Tiga orang yang tak pernah kumengerti; menjalani hari merah jambu dengan memacetkan diri pada rutinitas berpikir dan bertindak atas judul 'dia'. Muqarrar berganti judul; muhadharah menjadi 'dia', kajian menjadi 'dia', bahkan jadwal imtihan tiap pekan menjadi 'dia' seluruhnya. Menjunjung asa pun dengan judul 'dia'.

Kata orang, tak ada yang benar-benar bisa memahami perempuan. Bahkan dirinya sendiri. Hal yang sama disematkan pada cinta. Lalu, bagaimana jika dua yang tak mampu dipahami bersatu?

Dalam case di atas, aku sama sekali bukan menyalahkan cinta. Sebab, cinta itu fitrah, begitu bunyi kalimat yang melegenda.

Yang jadi masalah adalah, sejauh mana kita menjaga fitrah tersebut.

Kalau lantas 'cinta' melegalkan penghabisan waktu, mari periksa 'cinta' kita.

Jika ia melegalkan kematian produktivitas, mari periksa 'cinta' kita.

Jika ia melegalkan pengabaian tanggung jawab, mari periksa 'cinta' kita.

Jika ia mengawali penyepelean ganjaran perbuatan, mari periksa 'cinta' kita.

Jika ia mengalihkan penyandaran sisi kehidupan, mari periksa 'cinta' kita.    

Jika ia melenyapkan rasa malu, mari periksa 'cinta' kita.  

Jika ia menyela percintaan dengan Sang Pencipta, mari periksa kembali 'cinta' kita.

Masihkah 'cinta' kita dapat disebut cinta?

Lalu, tidakkah cukup janji Allah menjadi tali harapan? "Man 'asyiqa fakatama wa 'affa (wa shabara) famaata fahuwa syahiid.."

Maka, masa adalah pembuktian cinta sebagaimana hidup tercipta "liyabluwakum ayyukum ahsanu 'amalan.."

 

Juni, 18. 2010      

(memohon: Allah, buatlah padaku; cintaMu mengeliminasi 'cinta' selainnya. Dan izinkanku hanya berdamai dengan cintaMu, Wahai Pencipta Langit dan Bumi..)