Ibu; Ketika Dunia Berputar Bersamanya

Dua puluh tahun yang Allah berikan untuk saya sungguh benar-benar nikmat tiada tara. Perlahan tapi pasti, kesadaran sebagai makhluk Sang Pencipta tumbuh bersama musim demi musim yang terlewati. Siap menuai benih-benih yang menjelma karya. Dan dalam tiap detik hidup nyata terekam kuat jejak seorang perempuan mahapenting; Ibu.

Ibu. Tiga huruf penuh makna bagi siapa pun yang Allah izinkan memilikinya dalam fase duniawi. Tiga huruf yang berarti, perempuan pertama yang saya kenal sejak nafas pertama saya. Perkenalan yang cenderung mengejutkan, ketika pengorbanan demi pengorbanan ia rintis demi saya yang baru menjadi 'manusia'. Bagaimana mungkin seorang perempuan yang identik dengan kelemahan fisik –dibandingkan dengan laki-laki- membawa serta beban besar di bagian depan tubuhnya, lalu, dengan atau tanpa terpaksa tidak memiliki pilihan untuk melepaskannya barang sebentar saja? Dan sembilan bulan bukan waktu yang singkat, Kawan! Berjalan dengan beban 5 kg di pundak dalam beberapa hari saja sudah membuat nafas terengah-engah, itu pun masih dengan toleransi beban yang dapat disingkirkan jika hendak menunaikan shalat atau istirahat. Maka, sejak saya tahu tubuh mungilnya membawa beban selama sembilan bulan tanpa pamrih, sejak saat itu saya tahu; ibu adalah perkasa.

Tahun membawa saya pada pertambahan usia dan memperkenalkan saya dengan dunia sekolah. Mulai masuk sekolah dasar, berarti merasakan tiga huruf itu kian istimewa. Sebab pemilik tiga huruf istimewa itu sering tertimpa kebiasaan 'istimewa' saya; mogok di tengah jam pelajaran yang berujung pada kepulangan lebih cepat dari jadwal sekolah. Atau; tak mengingat tugas sekolah sehingga ia berulangkali terpaksa meminjam lembar kerja milik teman saya, menghapus jika ternyata sudah terisi jawaban, untuk kemudian difotokopikan khusus untuk saya. Buat apa, pikir saya, toh yang penting nantinya saya bisa memahami pelajaran dengan atau tanpa lembar kerja tersebut. Tapi baginya, lembar kerja bukan sekadar bisa mengerjakan tugas tapi lebih merupakan bukti kesungguhan seorang pelajar.

Di sisi lain, selain mengurus lembar kerja saya, ia juga mengerjakan tugas rumahnya sendiri. Menyelesaikan pekerjaan rumah bukan hal yang mudah. Lihatlah! Betapa ia dituntut pandai mengatur waktu untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa harus mengabaikan hubungan pribadi antara ia dan Tuhannya. 'Mencuri' waktu istirahat anak-anak –yang seharusnya juga menjadi waktu istirahatnya- untuk mengerjakan urusan rumahnya. Menggumamkan dzikir al-ma'tsurat saat menyuapi anak-anaknya, atau menyelipkan shalat malam di tidur malam yang pendek. Sejak saat itu, saya menyadari arti lain tiga huruf itu; ibu adalah tanggung jawab.

Keputusan melanjutkan pendidikan di pondok pesantren usai sekolah dasar, ternyata bukan saja keputusan berat bagi saya, melainkan juga untuknya. Perempuan dengan tiga huruf istimewa yang menitikkan air mata dan lalu menyulam perasaannya dengan senyuman.

(bersambung ntar ah..)

Comments

  1. ahh,baru segini aja ud 'ujan' dirikuu!!:(
    kangen ibuu,sayang ibuu!!:-*

    ReplyDelete

Post a Comment