Ablah

Ahad, seperti biasa jadwal tetap Ahad pagi adalah tahfidz. Cukup bisa dikategorikan pagi dalam standar warga Mesir, setidaknya tahfidz yang dimulai jam 10.00 hampir berbarengan dengan jadwal buka lapak-lapak di sisi masjid Azhar dan sekitarnya. Tiga puluh menit menunggu sambil mengulang plus bincang-bincang bersama ibu-ibu Mesir di salah satu ruang masjid, kabar yang kuterima adalah, ustadzah pembimbing kami berhalangan hadir karena ada keperluan mendesak di jam yang sama. Bersama beberapa teman, akhirnya kami putuskan untuk segera menuju kuliah; setidaknya masih ada peluang hadir di jam pelajaran ke-dua, atau menyelesaikan ijra’at (urusan kekuliahan) bagi yang belum menyelesaikannya. Sebelum meninggalkan Darrasah, kami sempatkan mampir membeli makanan pengganjal perut berupa sepaket roti ‘isy -roti khas Mesir-  dan tha’miyah di daerah belakang masjid.

Tiba di kuliah, melihat jadwal kuliah yang tidak memungkinkan untuk dihadiri  karena ternyata sudah cukup jauh terlambat, aku segera mengarahkan langkah ke pojok depan gedung kuliah; tempat ijra’at tashdiq, kerneh (kartu mahasiswa) dan lain-lain bagi para mahasiswi asing yang duduk di tingkat 2 sampai 4. Tempat yang agak khusus, kalau boleh dibilang, sebab ‘bangunan’ 2x2 meter ini berdiri terpisah dari gedung kuliah. Hanya berdindingkan papan dengan satu pintu dan tanpa jendela. Beberapa temanku sesama mahasiswi pendatang bahkan sempat berkelakar, bangunan tempat urusan ke-administrasian ini lebih mirip tempat penjual roti ‘isy makanan daripada status aslinya sebagai perangkat pendukung keberlangsungan kuliah. Kelakar yang agak 'menyedihkan' menurutku, karena bagaimana pun, bentuk dan tampak muka bukanlah segalanya, ada satu yang lebih penting dari pada tampak muka: isi. Walaupun aku sendiri tak menafikan bahwa demi kelancaran, kenyamanan dan kepentingan segala urusan administrasi perkuliahan, perlu diberi perhatian khusus -juga perbaikan yang layak- untuk tempat berlangsungnya semua urusan tersebut.

Dalam bangunan tersebut, ada dua orang ablah, sebutan bagi perempuan Mesir, yang setia melayani keperluan para mahasisiwi asing. Setia, karena setiap hari selain hari libur mereka selalu hadir tanpa pengganti, juga karena tiap hari kerja itu mereka tabah menghadapi keterbatasan bahasa ribuan mahasisiwi asing. Oya, satu lagi, mereka, dua ablah itu, juga setia dengan kata “bukrah” alias besok, dalam menjawab permohonan para mahasiswi. Kesetiaan yang terakhir ini, seringkali membuat ringisan, gerutu dan bahkan omelan keluar dari para korban “bukrah”.

Kembali ke urusan kuliah, rencananya aku akan mengambil daftar nilai ujian tingkat 2 setelah sehari sebelumnya mengajukan permohonan. Tiba di depan pintu, aku justru disambut dua ablah yang berdiri meninggalkan kursi sambil meninggalkan pesan dengan senang hati; “Duduk di sini ya, saya mau ke dalam.” Meski sempat terhenyak, syukurlah, ternyata kedua ablah hanya akan pergi ke dalam gedung kuliah untuk melengkapi tanda tangan pengesahan berkas-berkas yang diminta. Okelah, toh mereka nggak akan lama, pikirku dalam hati.

Dan kenyataan baru dimulai lima menit setelah aku dan salah seorang teman yang juga diminta tolong, berdua duduk di kursi ablah. Satu orang mahasiswi, tampaknya sama-sama berasal dari Asia Tenggara, masuk dan bertanya dengan ekspresi kaget campur kecewa. “Ablah sedang pergi menyelesaikan tanda tangan,” sambutku cepat sebelum ia bertanya. Mengangguklah ia dan kemudian keluar. Selang dua menit, dua orang mahasiswi, tampaknya juga dari kawasan Asia Tenggara, masuk dengan grasa-grusu. “Mana ablah?”, tanyanya segera. “Sedang keluar, cari tanda tangan.”, jawabku. “Dari jam berapa? Sudah lama?”, tanyanya lagi. “Tak. Belum lama pula.”, jawab temanku. “Akan lama kah?Berapa lama lagi kira-kira? Saya butuh ijra’at.”, kejarnya cepat. Aku mulai tak nyaman dengan pertanyaan beruntunnya. Meneketehe, batinku. Kuangkat bahuku tanda aku tak tahu, dan aku tak ingin berbicara lebih lama lagi. Sementara tangannya mulai mengambil satu kertas dari tumpukan kertas di meja ablah. “Hendak perlu apa? Kerneh, atau tashdiq?”, tanyaku melihatnya mulai berani mencomot kertas tanpa izin. “Nanti saja, tunggu ablah datang,” sergahku sebelum ia berbuat lebih jauh. Segan, akhirnya mau tak mau mahasiswi itu beranjak keluar. Tak lama kemudian, seseorang masuk dan bertanya hal serupa. Pastinya jawaban yang aku punya juga hanya satu, serupa seperti yang sudah-sudah. Dan berikutnya, dua orang datang, kemudian satu orang lagi mengiringi. Menyusul kemudian, baik seorang diri ataupun gerombolan mahasiswi dengan ragam keperluan dan ekspresi emosional datang bergantian mengulang ritme yang serupa. Dalam setengah jam  menunggu saja, terhitung lebih dari sepuluh orang telah datang ‘menjenguk’ kami, aku dan temanku yang terdakwa di kursi ablah. Dan setengah jam menjadi demikian lama terasa, hingga jawaban atas pertanyaan siapapun yang datang lambat laun berganti gusar.

Bayangkan, bagaimana jika aku harus menjalani semua rutinitas kedua ablah ini sebanyak 5 jam per-hari, dikali 5 hari kerja dalam sepekan. Lengkap dengan kenyataan tanya-jawab, kerja manual menghadapi permohonan dibuatkan ini itu, permohonan berbau pemaksaan agar cepat diselesaikan, bekerja di bawah tatapan mata yang berkata, “bisa nggak sih, urusanku dipercepat biar selesai semua sekarang juga?!” dengan kedua tangan bersidekap atau bahkan berkacak pinggang, selama jam kerja 5 jam, dikali 5 hari kerja dalam sepekan. Lalu jangan lupakan jumlah total mahasiswi asing yang mencapai ratusan lebih, Kawan! Baru setengah jam saja, mulut rasanya kebas melafalkan penjelasan yang itu-itu saja. Belum lagi tingkat emosi tiap individu yang berbeda-beda. Bayangkan jika harus bertahan pada posisi itu selama bertahun-tahun!

Pikiranku seperti baru terbuka akan kebesaran tugas dan khidmah mereka setelah selama ini tertipu dengan pandangan kecil-mengecilkan, remeh-meremehkan tugas mereka. Sebuah bukti lain akan egoisme; seringkali aku menuntut banyak tanpa pernah mencoba menempatkan diri di posisi orang lain. Betapa disana, di bangunan kecil itu, juga terdapat sebuah pelajaran akan kesabaran yang panjang. Sungguh, menyaksikan dan menyadari hari-hari yang dilalui, kedua ablah tersebut menjelma istimewa di mataku, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

meReview Ahad, 5 Desember 2010

(Beranjak dari kuliah, hari ini kudapatkan daftar nilaiku dan 'nilai' kedua ablah dan bangunan tersebut. Allah, betapa aku seringkali terlupa bahwa semesta tak terhampar begitu saja; ada hikmah tersebar dalam semesta, jika saja manusia mau melihatnya. Allah, jadikan kami bagian dari hamba-hambaMu yang pandai menyikapi semua ketetapan dan keadaan, yang sudah ada maupun yang akan ada..)

 

Comments