Dua Episode Istimewa #2

Ah, ngomong-ngomong tentang keikutsertaan Ayah di lembaga itu, ia tersenyum dalam desakan air mata.

Ia
kecil hanya tahu, kalau kegiatan yang berhubungan dengan orang lain patutlah didahulukan daripada jadwal pribadi; dan keikutsertaan Ayah di lembaga itu termasuk di dalamnya. Adik-adiknya pun begitu, suatu saat ia dan adik-adiklah yang memaksa Ayah berangkat saat Ayah urung mengikuti salah satu acaranya sebab motor GL Pro andalannya mogok. “Ayah kan masih punya sepeda, apalagi acaranya deket, nggak jauh kan..”, protes ia dan adik-adik. Ayah, yang memang sudah kehilangan niat datang, cuma melenguh sambil menoleh Ibu yang mengangkat kedua bahunya, “Terserah, lihatlah Yah, begitulah anak-anak..”, begitu kira-kira terjemah bahasa tubuh Ibu. Dan akhirnya Ayah menyerah; tetap berangkat meski harus memakai sepeda. Dengan begitu, setidaknya buat ia dan adik-adik, Ayah tak kehilangan muka dan aura saat mengusulkan ‘khairunnas anfa’uhum linnas’ saat ia ribut memikirkan isian motto di formulir identitas dan keterangan diri untuk buku kenangan sekolah dasar.    

Selain mengikuti lembaga tersebut, Ayah aktif di serikat pekerja cabang kantornya, sebuah perusahaan yang memproduksi tabung pemadam kebakaran dan brankas. Dua-tiga kali berturut-turut Ayah dipercaya memegang posisi puncak; posisi yang menuntut Ayah untuk all out, termasuk ketika harus melepas bagian kerja koreksi laporan keuangan yang dihuninya bertahun-tahun. Ketika ia mengerutkan dahi bertanya mengapa, Ayah hanya menjawab ringan, “kalau Ayah tetap di bagian sebelumnya yang bertugas mengoreksi laporan akan ada kontradiksi antara tugas kantor, yang seringkali harus mengungkap kesalahan personal, dan tugas sebagai serikat pekerja, yang melakukan pembelaan terhadap hak-hak pekerja.”. Ayah seringkali berbagi cerita tentang perjalanan serikat pekerjanya yang penuh lika-liku membela hak pekerja, baik posisi benar maupun salah. Saat itu, lagi-lagi  ia bertanya dengan nada protes, “mengapa dalam posisi salah pun si pekerja harus mendapatkan pembelaan? padahal ia sudah melakukan kesalahan, kan yang harus dibela adalah yang benar Yah..”. Ayah, yang seperti biasa hanya mengulum senyum sambil mengangkat alisnya, memang termasuk orang yang sering mendapat bagian protes dari ke-ngeyel-an ia pribadi, mulai dari hal penting sampai -hampir- tidak penting sama sekali. “maksudnya membela si pekerja yang salah adalah, ketika kesalahannya adalah a, maka biarkan ia menanggung konsekuensi dari kesalahan a tersebut tanpa harus menanggung kesalahan b yang tidak ia kerjakan. Sebab seringkali, ketika si pekerja diketahui telah berbuat salah a, kesalahan b dan c juga ditimpakan padanya. Dengan kata lain, biarkan semua mendapat porsi yang semestinya. Dan itu bukan berarti merubah serta merekayasa yang benar menjadi salah, pun sebaliknya, yang salah menjadi benar.” Kala itu, ia hanya termangu, mencoba mencerna pelajaran malam itu yang menurutnya, agak sulit menembus rangka kepala dan masuk otak standarnya. Tapi suatu hari kemudian, ia benar-benar bersyukur memiliki Ayahnya yang siap mengajarkan pelajaran kehidupan, memperkaya cakrawala dan rasa, menambal cara pandangnya saat ia hampir tak berdaya menghadapi dunia.

Bis yang ia tumpangi mendecit pelan. Lalu lintas yang padat, jika tak ingin dibilang macet, seperti membiarkannya tenggelam. Tiba-tiba, bahunya terdorong desakan seseorang. Ia menoleh, rupanya seorang bapak sedang menuntun anaknya yang berumur sekitar 2 tahun. Ia tersenyum simpul.

Ayahnya juga tak membiarkan anaknya yang sudah mampu berjalan tetap dalam gendongan. Menurut Ayahnya, biarkan anak-anak dewasa dengan berjalan. Sebab gendongan hanya akan menumpulkan kedewasaannya. Ibunya pasti protes dalam pembahasan ini; “semua ada waktunya Yah, memang ada saatnya ia berjalan, tapi juga ada saatnya ia perlu digendong. Asalkan satu, jangan sampai motif membiarkan anak berjalan adalah karena orang tua malas menggendong anak yang kian berat.”, dan Ayah hanya akan tertawa lepas menanggapi kegusaran Ibu. Ia yang mulai besar tambah mampu menarik kesimpulan bahwa prototipe Ayah dan Ibunya berbeda. Ayah cenderung membebaskan –sesekali mendorong- anak-anaknya melakukan banyak hal sejak kecil. Pergi sendiri ke pasar serta ke rumah nenek naik angkutan umum. Naik ke atap rumah main layang-layang, seperti kesukaan adiknya, asal sekalian membersihkan daun-daun kering yang berasal dari pohon nangka di area kuburan, tepat berada di sisi rumahnya. Ambil makanan sendiri dalam resepsi semacam walimah atau aqiqah. Pilih baju, tas atau sepatu sesuai selera dan keinginan masing-masing. Janjian main atau jalan-jalan kemana-mana dengan teman-teman sekolah. Ikut rombongan beduk keliling di malam takbiran yang baru pulang larut malam. Ikut serta menyembelih kurban bagi adiknya yang laki-laki. Kemping di halaman rumah yang sempit. Naik gunung berbekal izin orang tua dan tanpa izin sekolah. Ikut beladiri setengah-setengah. (Ia menggelengkan kepala mengingat kebebasan Ayah dan kekhawatiran Ibunya dalam hal izin mengizinkan.) Terlihat baginya, Allah seperti telah menakdirkan dua hal berbeda untuk saling melengkapi.

Perbedaan satu lagi yang cukup terlihat. Apa kata Ayahnya saat mobil keluarga raib entah kemana? Hari itu, Ayah terbangun sesaat sebelum adzan subuh mengudara. Hampir tengah malam ia sekeluarga baru tiba dari Bandung. Lelah, pasti. Apalagi tak ada anggota keluarga yang bisa menggantikan Ayah menyopir mobil, jadilah Ayah sopir tetap pulang pergi perjalanan panjang ke Bandung, sebelum tol Cipularang memangkas jarak ibukota-Bandung menjadi teramat singkat. Ia yakin, lelah Ayah berkali lipat daripada lelahnya sampai menunda Ayah bangun shalat malam. Dan ketika bergegas akan wudhu, Ayah mengecek halaman rumah dan seketika menyadari mobil yang mereka tumpangi semalam tak ada lagi di tempatnya. Usai istighfar dan istirja’, Ayah membangunkan Ibu perlahan. Ibu yang juga lelah hampir tak terbangun mendengar nada Ayah yang datar, jika tak memperhatikan kata-kata Ayah. Terlonjak bangun, Ibu langsung melihat halaman dan bertanya gusar, “Terus gimana, Yah?” Ayah hanya mengangkat bahu sambil menjawab datar, “Ya nggak gimana-gimana Bu, berarti bukan rizki.” Ibu tertegun, dan lantas kedataran Ayah meresonansi; Ibu belajar tak lagi misuh-misuh, ribut menyoal mobil yang hilang. Belajar menerima dan bersikap biasa pada kenyataan, begitu ia biasa menyebut pelajaran yang ia petik dari Ayah. Meskipun tetap saja Ibu aktif menyergah pendapat Ayah yang satu ini dalam beberapa hal, yang mungkin akan ia ingat lain kali saja.

Potongan ingatannya berjalan cepat, berbanding terbalik dengan roda bis yang bergulir lamban. Ia mendengus pelan. Berapa lama lagi aku sampai di asrama, kalau bis berjalan lambat begini?, gerutunya jengkel. Ah, tak ada gunanya merutuk. Ambil saja hikmahnya; ia bisa menikmati jalanan waktu malam yang gemerlap kelip lampu. Semua orang di bis ini mungkin melihat hal yang sama, tapi belum tentu semua orang dapat menikmatinya, bisik hatinya mengajak berdamai dengan suasana.

Berdamai dengan sosok Ayah tak selamanya lancar. Sesekali kerikil perdebatan dan kemarahan mengisi hari. Bukan sesekali, malah dua kali tiga kali terhitung ia bentrok dengan Ayah. Topik hangat -hampir panas- perdebatan berujung diam –atau lebih tepatnya, ngambek- antara ia dan Ayah adalah: perempuan seringkali lebih dituntut melaksanakan kewajiban ini-itu dalam keseharian sementara masyarakat seperti hanya ingat bahwa kewajiban laki-laki dewasa adalah menafkahi saja dan sisanya berhak leluasa mendapatkan haknya. (Ia menggeleng-gelengkan kepalanya mengingat perdebatan ini yang beberapa kali terulang. Dasar anak ngeyel, tunjuknya ke diri ia pribadi). Lalu, Ibu yang berada di tengah kedua orang keras kepala ini akan berusaha menjadi wasit yang baik plus bijak meski lebih sering terlihat bingung dan tak habis pikir melihat tingkah Ayah dan ia. (Ia nyengir. Ibunya pasti lebih kasihan karena harus mengalami hari-hari seperti ini.)

Perjalanan pulang ke asrama hampir mencapai setengah jarak yang harus ia tempuh. Bagaimana kabar Ayah-Ibu sekarang?, ia membatin. Ah, ya, Ibu, Ayah dan ia memang sulit menahan air mata dalam beberapa kesempatan. Apalagi ketika rindu menggelegak, rindunya pada Ayah-Ibu dan adik-adik, seperti saat ini.  


*morning hasn't broken *biggrinning*

Comments

  1. sepertinya keikutsertaan dalam suatu lembaga.melahirkan nilai-nilai kehidupan yang kurang lebih sama.Pola didikpun jadi tidak jauh berbeda.Terima kasih untuk para pendidik......

    ReplyDelete
  2. Hwwaaa,missing all!!:(
    walaupun adiknya jarang berdebat dan terlibat pembicaraan sperti ia,sejujurnya adiknya iri ingin dapat terlibat sperti layaknya ia,,smga tidak ada kata terlambat !!:)

    ReplyDelete

Post a Comment