Dua Episode Istimewa #1

Angin menemani langkahnya menerobos senja yang kian legam. Tergesa menyeret pikirannya yang melayang. Aku rindu ayahku, bisiknya lemah.

Daun kecoklatan jatuh menimpa sepatu ketsnya sebelum menyentuh tanah. Aku rindu ibuku, bisikan sendu menyusul kakinya melumat daun kering kecoklatan.

Senja yang muram. Beruntung, kedatangannya di halte segera disambut bis menuju asramanya. Setidaknya, ia punya jenak leluasa untuk memutar kepingan memori tentang Ayah dan Ibunya sembari mengentaskan jarak di atas bangku bis yang lapuk digerus waktu.

Episode Ayah

Ayahnya laki-laki berumur yang mengambil keputusan menikah saat umurnya kian banyak. Sosok idealis yang tak mengalah pada pura-pura; salah satu sebab utama tersisihnya ia dari dunia Fakultas Ekonomi sebuah universitas terkemuka di Indonesia, yang dulu menjadi satu-satunya cita usai menyelesaikan masa sekolah menengah atas. Meski torehan prestasi menyeretnya ke dalam lingkar bergengsi di kelas, bahkan di angkatannya, resahnya tak kunjung berujung melihat fakta lingkungan yang jauh dari bayangan ideal. Dan lingkar bergengsi itu tak mampu menahannya pergi dari kampus. Tak juga berhasil ditahan oleh iming-iming pengalaman bertemu pejabat hingga menteri sebagai utusan media sebagaimana sempat ia cicipi. Apalagi kesulitan ekonomi selaku anak dari seorang sopir menjeratnya kian menjauh dari dunia kampus. Lengkaplah sudah; Ayahnya keluar usai meraih sarjana muda. (Ia ingat sekali Ayah bercerita dunia kampusnya; getir.)

Tapi jangan tanya soal belajar. Ayah tak kenal kata berhenti belajar meski ia berhenti sekolah. Hari libur kerja di akhir pekan selalu terkuras untuk tiga agenda besar; buku, olahraga dan rapat pengurus sebuah lembaga kepartaian yang Ayah ikuti. Dan di ketiga agenda tersebut, Ayah selalu melibatkan anggota keluarga. Ia ingat sekali, akhir pekan yang paling ia tunggu-tunggu adalah menyusuri lapak dan ruko di pinggir jalan Kwitang. Seingatnya, ada toko buku Walisongo, Gunung Agung dan Gramedia disana, selain tentunya lapak-lapak buku bekas berkualitas yang berjejer panjang. Ayah akan membebaskannya memilih buku, kemudian ia ingat sekali Ayah akan memeriksa buku pilihannya sesaat sebelum mengantri di kasir. Ketika ia sekeluarga pindah rumah ke daerah yang jauh dari Kwitang, Ayah berinisiatif memindahkan lokasi wisata buku pekanan ke kawasan sekitar stasiun kereta api yang juga merupakan kawasan kampus dekat dari tempat tinggalnya. Kebiasaan yang Ayah pertahankan ternyata membuat ia dan adik-adik mulai menjalin pertemanan dengan buku. Oya, satu lagi khas Ayah yang tak akan ia lupakan; memberi masing-masing anak –ia dan adik-adik- jatah nominal membeli buku saat pameran buku tiba. Dan saat itu, ia akan segera mencari stand penerbit favoritnya; Djambatan, Dian Rakyat dan Balai Pustaka, yang menjual buku-buku terbitan lama dengan harga yang pastinya murah meriah. Soal penerbit favoritnya ini, ia tak pernah membagi cerita kepada siapapun. Mereka pasti akan meledekku kalau mereka tahu aku rajin membeli buku-buku yang menguning dimakan waktu, pikirnya. Dalam pemahamannya, membeli buku di penerbit tersebut merupakan satu tindakan paling efektif dan efisien; menghasilkan buku banyak dengan dana terbatas sesuai pemberian Ayah.

Selain buku, ia ingat sekali jadwal olahraga tiap sabtu atau ahad pagi yang berkisar pada jalan-jalan pagi keliling kampung. Ia selalu jadi tumpuan Ayah memprovokasi adik-adiknya agar tertarik ikut jalan pagi. Kalau tidak jalan pagi, jadwal olahraga menjadi ajang konvoi sepeda ia dan sekeluarga. Rutenya adalah jalan tikus bertujuan akhir kampus kuning ­–sebuah universitas terkemuka tempat Ayah dulu belajar-. Sungguh menyenangkan melihat arak-arak empat hingga lima sepeda beriringan. Ayah memang peduli pada kesehatan jasmani ia, ibu dan adik-adik. Selain itu, yang baru ia sadari adalah, ternyata Ayah berperan besar menumbuhkan kecintaannya pada alam dengan jalan pagi, konvoi sepeda, ajakan berenang dan kewajiban bisa berenang, berkemah di alam lepas dan izin naik gunung. ( Ah.. ia semakin biru. Pelupuk matanya tak lagi mampu menahan bulir-bulir yang mendesak keluar.) Sebuah kenangan yang tak lagi leluasa ia dapatkan semenjak Ayahnya harus lebih meluangkan waktu memikirkan lembaga tempat Ayah ikut serta adalah, olahraga dan bercengkrama dengan alam.

Ah, ngomong-ngomong tentang keikutsertaan Ayah di lembaga itu, ia tersenyum dalam desakan air mata.


*see ya next time.. ^^ (ngantuk rek..)

Comments

  1. Untuk beberapa karakter, bener2 like father like daughter

    ReplyDelete
  2. sam.. sam.. setuju atau sedelapan juga bolehlah.. :)

    ReplyDelete
  3. waduh,baru baca!!:)
    jalan pagi sampai ke kali,ujung jalan rumah qt,,berenang dari pagi sampe siang,sampe puas sampe bisa,,jogging ke ui sambil outbond2an,,blanja buku (blanja kacamata juga),,
    wow,my father is amazing!!

    ReplyDelete

Post a Comment