Berkaca Dari Gelisah Kartini

(kuduna mah mungkin di-posting pas hari lahirnya Ibu Kartini, tapi better late than never, lagipula ini buat arsip aja,, :D )

April pada seratus tiga puluh satu tahun silam menjadi saksi lahirnya seorang perempuan yang tercatat bergelar pahlawan nasional dalam sejarah Indonesia. Kartini, namanya. Selain gelar pahlawan, 21 April yang merupakan tanggal lahirnya diperingati sebagai hari Kartini, dengan kata lain mewakili hari perempuan nasional.
 
Terlepas dari berbagai tudingan dan kritik terhadapnya, Kartini dianggap banyak kalangan masih layak menjadi simbol pergerakan perempuan menghadapi adat yang mengikat. Sampai pada titik ini, simbolisasi Kartini kerap terinterpretasi jauh dari apa yang ia perjuangkan dan hampir melanggar pagar fitrah (baca: ketetapan Yang Maha Esa) sebagaimana rajin digaungkan para penyeru feminisme.

Membaca gelisah Kartini

Hidup di zaman yang menganut erat pemikiran 'dunia perempuan adalah dapur, sumur dan kasur' membuat kegelisahan tersendiri bagi seorang Kartini. Kegelisahan yang tak terpadamkan mengiringi Kartini menjalani masa pingitan kemudian berlanjut pada kebebasan yang ia raih usai masa pingitan. Namun, kegelisahan seorang Kartini bukan sekadar kegelisahan. Kegelisahanlah yang membawa Kartini pada sebuah pencapaian cerdas di usia muda: mampu mendata dan menalar hambatan struktural dan kultural di negerinya sendiri. Dari gelisahnya pulalah lahir sekolah untuk perempuan yang ia rintis.

Perjalanan gelisah Kartini berlanjut bersama waktu. Kali ini, pembagian kelas masyarakat berdasarkan warna darah, apakah dia berdarah biru (baca: keturunan ningrat) atau bukan, mengusik kembali kegelisahan Kartini. Kegelisahan yang lantas membawa Kartini berseberangan dengan standar warna, sebab baginya yang membedakan derajat seseorang hanyalah pikiran dan budi pekerti. Kegelisahan pula yang mengantarkannya pada satu titik balik dalam pertemuannya dengan KH Sholeh Darat, sebagimana ungkapan yang sering Kartini ulang dalam tulisannya 'min adz-dzulumaati ilaa an-nuur'.

Kartini tidak sendiri merasakan gelisah, setiap kita seringkali bertemu gelisah. Dan dalam setiap pertemuan itu sebenarnya kita diuji, manakah jenis gelisah kita di antara dua; gelisah yang berujung pada putus asa, ataukah gelisah yang produktif. Kita tentu masih mengingat cerita pejuang yang terluka akibat peperangan. Kegelisahan akan rasa sakit yang diderita akhirnya membawanya pada bunuh diri, sekaligus membunuh cita-cita syurga di depan mata. Sebuah contoh gelisah berakhir pahit. Sementara di belahan lain, dunia dikejutkan pergerakan seorang anak manusia seperti Kartini. Meski faktor pendorong dua anak manusia ini sama; kegelisahan, akhir keduanya tidaklah sama.
       
Inilah sesungguhnya makna kegelisahan; saat berpadu dengan kepedulian sosial, ia mampu menjadi motor bagi jiwa untuk terus bergerak dan menghasilkan. Saat melebur bersama harap, kegelisahan akan berganti 'uluwwul himmah, ketinggian cita yang kemudian menjadikan jarak dan tenaga bukan lagi hambatan berarti. Sebagaimana membuat Salman Al-Farisi tegar merentas jarak antara Parsi dan Yastrib demi menemui kebenaran di tangan Rasulullah Saw. Kegelisahan yang membawa kakinya terus melangkah hingga mengantarkannya pada akhir yang manis, pertemuan dengan kebenaran.

Maka kegelisahan akan terus seperti itu. Selalu ada dan menunggu kita memilih ujungnya. Dan kini, ia menunggu kita menjawab seruannya bergerak, menghasilkan karya terbaik dari anak-anak pergerakan. Adakah dari kita yang hendak menjawabnya?



* taken from 'Salsabila'


Comments

  1. Jiaaah,,arsipx penuliis!!mantabb:)

    ReplyDelete
  2. wah ina..tulisan kakakmu keduluan ma ka ayi nie ngepostnya.i'm sorry wafret tulisanmu aku yang post-in duluan di salsabila..however..pokokna kerenlah temen abi nu iyeu yeh!

    ReplyDelete

Post a Comment