Patah Hati

Mungkin ini salah satu jenis patah hati. Dari sekian macamnya, aku pikir aku takkan pernah mengalaminya. Sebab menaruh rasa adalah perkara serius, tak kunjung terbit keberanian meletakkannya cuma-cuma. Pada masa sebayaku berkali ganti cinta monyet -yang artinya kerap patah hati-, selamatlah darinya karena tak dikunjungi.

Selesai, pikirku.
Nyatanya tidak, saat umur beranjak banyak, muncul kisahku. Kisah patah hati yang meremukkanku.

Jangan belalakkan matamu dulu kawan!

Kali ini, patah hati berkawan dengan keinginan. Dengan ekspektasi.

Dari semenjak diberi rizki anak pertama, gelora semangat belajarku meletup. Meski kali ini mataku berpindah minat. Seperti tak habis tanda tanya akan dunia anak kecil, tentang seluk beluk pendidikan anak. Sampai bertemu satu malam panjang tanpa terpejam sebab penasaran metode tertentu. Lain waktu, melahap habis aneka ide bermain bersama makhluk kecil -meski tak seluruhnya terlaksana di dunia nyataku-. Grup demi grup berbau keluarga disambangi, demi menyerap materi.

Ah, aku jadi teringatkan deskripsi seorang pakar yang menyebut zaman ini seringkali tsunami informasi.

Mulailah terbentuk idealisme dan warna cita-cita, hasil dari kumpulan pencarian yang menyita rehat tersebut. Ya tau sendirilah, namanya ibu di tanah rantau akan merasakan tinggal sendiri dan berkejaran dengan waktu menyelesaikan urusan rumahnya, hingga tersisa untuk kegiatan di luar itu saat rehatnya memanggil, siap-siaplah mengorbankan sepersekiannya ya.

Idealisme, atau cita-cita, apalah ia disebut, mengalami penyesuaian-penyesuaian dalam perjalanan. Tak melulu berjalan kencang, tapi masih kuupayakan jalannya meski tertatih. Beriring kewarasan seorang manusia lemah, penjagaan nyalanya kadang terang kadang redup. Kujaga dan kuharap benar tak mati begitu saja. Sebab berhenti, artinya kesiaan dalam keseharian, itu pikirku, dulu.

Berlalu waktu, ternyata aku harus merayakan patah hati pertamaku. Pada cita-cita yang tak kunjung hadir kerangkanya. Pada tiang diri yang tak kunjung siap menopangnya.

Tergugu.

Kuputus semua pendar cita-cita tersebut. Padam kelam sudah. Lihat saja tepat di bola mata, masih adakah kau jumpai riang cahaya?

Kututup gusar semua buku catatanku. Ingin kuhempas pergi semua bekal materi. Bubarkan semua rencana, biarlah hidup mengikut tanpa pilotnya. Bukankah sekarang sedang trend istilah autopilot? Mengalir sajalah entah kemana.

Mungkin, ini yang namanya gegar informasi. Usai tsunami.

Lalu aku dikuasai, ada nafsu menyalahkan manusia lain, situasi dan keadaan, fasilitas, waktu. Ah. Sibuk menuding jari pada yang lain, sampai terpapar nanar. Saat sadar menyaksikan keempat jari lainnya mengarah padaku. Pada diri sendiri.

Salahku? Iya, begitulah.

Terhenyak.
Siapakah kamu, siapakah aku? Apakah sudah hilang kepercayaan pada Yang Menciptakan? Ya Rabbana. Maafkan, mungkin butuh lebih dari sekedar percaya, untuk sebuah pemulihan. Butuh kerjasama. Butuh masa. Butuh menata.

Bukankah Kau selalu ada disana?

---desperate housewife (?!) 😜
Cairo 1 oktober 2017

Comments