Surat untuk Ibunda

Dear Ibu..

Hari ini, tepatnya di sembilan hari berturutan ini, banyak kilasan kenangan tentangmu yang terkisahkan. Menerbitkan rindu padamu, Bu. Sungguh. 

Kata lisan suci Baginda-ku, hari-hari ini hari terbaik. Apalagi tepat di hari ke-sembilannya. Dimana hajat terujar dalam sebuah daftar panjang permohonan yang konon tak dielakkan. Menyambut gaung firman Sang Kuasa "Niscaya akan Aku perkenankan!" yang memenuhi seantero langit semesta. Jiwa-jiwa dahaga ini bagai terpapar air segar; bugar. 

Lalu aku, Bu, langsung teringatkan padamu. Dalam tengadah, aku merapal pinta. Tentang hajat yang baru kupunya erat. Duhai, izinkan aku menjadi sepertimu, Bu. Tak gentar menghidupkan lembah dunia yang kerontang. Sanggupkah aku Bu? Sepertimu, memintal kesabaran di deretan panjang dera ujian. Anak. Nafkah. Tempat tinggal. Padahal engkau sendirian. Sendirian, Bu. Tabik untukmu, Bu. Aku, sekadar menghidupkan diri saat sendiri saja rasanya lelah luar biasa Bu. Lemah. 

Karena itu, hari dimana hajat dijanjikan tertunaikan, izinkan aku meminta kemudahan Sang Kuasa untuk belajar meneladanimu, Bu. Yang tak pernah putus percaya pada Sang Kuasa, hingga tali erat iman itu menjemputmu dalam sejarah masa; manusia istimewa. Ya, istimewa sepertimu, berkeras ikhtiar dengan sepenuh kesungguhan. Apakah yang menggerakkanmu melintas batas letih Bu? Ah ya, Bu, pastilah hati penuh luapan iman kepercayaan pada keindahan qadha dan qadar milikmu Bu, yang menebas segala keraguan dan keletihan. Bukankah hanya perempuan kuat yang akan melahirkan generasi hebat?  Dan engkau-lah itu, Bu. Perempuan istimewa yang melahirkan keluarga teguh beriman, cikal generasi penerus risalah tauhid. Keistiqamahanmu bu, layaknya zamzam, air peninggalan abadi tentang cerita ketegaranmu saat Ismail menetakkan kakinya, suatu ketika engkau hanya single parent di suatu lembah gersang. Kini lembah itu adalah petakan bumi yang berlimpah barakah, yang disana tercetak kerinduan amat sangat untuk menjejak. 

Bu, di sela rintik air mata rindu pada rumah-Nya, aku menikmati keindahan janji Sang Kuasa, mengurai harap demi harap, untuk mewarisi secuil keutamaan baikmu, Bu. Menyuburkannya dalam ladang jiwa, agar kekal tersebar dalam laku nyata sepanjang perjalanan menuju surga. 

Semoga Allah perkenankan dan mampukan para perempuan muslimah meneruskan keteladananmu, duhai Ibunda Hajar.. 

---------------------

Lalu aku, sesama perempuan yang semakin tergugu. Nanar menyaksikan kekerdilan diri. Sebab sujudku yang tak lama, mungkin, jadilah di depan tumpukan baju saja aku sudah kepayahan menahan lisan dari keluh. Mungkin, sebab munajat yang tergesa, nafas sabarku tak ada seujung kuku menghadapi tugas istimewa pendidikan anak. Padahal slogan "Al-umm madrasatul ula" -Ibu adalah sekolah pertama nan utama-, setiap hari digemakan. Gerutu dan nada tinggi yang tak segan mampir di keseharian, padahal sudah lebih dari tahu bahwa anak adalah titipan; bukan kepunyaan. Sebegitu beranikah memperlakukan titipan Tuhan? Ah mohon maafkan aku, wahai Yang Maha Penyayang..

Mungkin juga, sebab sepertiga malamku lebih banyak habis dengan mata terpejam, hingga lebih banyak tuntutan yang terlisankan pada pasangan. Banyak permintaan. Jauh dari telaga tenang yang disebutkan dalam ayat di undangan pernikahan.

Malu.. Sementara syurga demikian dekat dijanjikan "di telapak kaki Ibu", mengapa sang pemilik kaki jauh dari pada mengabadikan sifat-sifat surgawi dalam diri? 

Maka cerita perbaikan diri harus dimulai. Meski sedikit demi sedikit, meski letih menggelayut, meski tertatih langkah. Selagi masih ada nafas, bukankah menikmatinya dengan perubahan menuju kebaikan adalah manifestasi syukur? 

#ntms. Really note to myself. 

Cairo. 9 Dzulhijjah 1437 H.
Eid al-Adha Mubaarak, everyone..

 



Comments