Jejak di Tanah Berlimpah Berkah

Setelah kepergian Ramadhan sekitar dua bulan lalu, akhir Agustus mengajak saya menyambut Dzulqa'dah yang datang membawa semerbak khasnya. Aroma yang mengingatkan saya tentang satu hadiah istimewa, -ah, anugerah tepatnya- yang Allah sisipkan di penghujung tahun masehi, tiga tahun lalu.

Saya tak bisa melupakan kelulusan kuliah yang saya terima nilainya dengan getar tak terbilang. 2012, tepat di masa ujian semester akhir saya harus berkutat dengan handphone tak lepas di tangan kanan dan muqarrar, sebutan untuk diktat kuliah bagi kami para mahasiswa timur tengah, di tangan kiri. Menginsafi sekali, kalau saja ulama penulis muqarrar itu hadir dengan raga di depan saya tentu saya tak luput dari jitakan pertanyaan; mengapa kau tega duakan ilmu yang susah payah mereka hasilkan lalu dengan riang hati serta ringan tangan dibagikan? Bukan saya tak menghormati perjuangan para penulis muqarrar tersebut, tapi keadaan Ayah saya di rumah sakit berjarak ribuan mil nun jauh di Tanah Air sana yang memanggil saya tak lepas memantengi layar.

Ya, tepat masa itu, masa dimana saya berjibaku dengan muqarrar penentu kelulusan, pahlawan nomer wahid saya, Ayah tengah berjibaku dengan keadaan genting usai serangan jantung. Dan saya cuma bisa terpekur di depan layar handphone, menanti bait demi bait balasan pesan dari Ibu dan adik-adik yang mendampingi beliau langsung. Begitulah, salah satu balada klasik perantau adalah, siap melewati momen demi momen kebersamaan dengan keluarga. Kebersamaan ragawi, maksud saya. Sebab bagaimanapun tali kekeluargaan jauhlebih kuat dari sekedar memutuskan kebersamaan rasa; sebab saya dengan penuh syukur masih sangat bisa mendampingi Ayah pada masa sulitnya, lewat lirih doa yang tak putus dilangitkan.

Itulah yang kemudian membuat kelulusan kuliah pada tahun itu menjadi demikian istimewa buat saya. Atau mungkin rumusnya terbalik; tahun itu menjadi istimewa karena kelulusan saya di dalamnya? Ah tapi, bukan kelulusan saja yang membuat 2012 menjadi istimewa. Satu berkah lagi yang dibawa angin Dzulqa'dah, yang membantu saya mencontreng satu dari sekian bentangan mimpi hidup saya. yang kemudian selalu membekaskan hawa khas pada setiap Dzulqa'dah tahun-tahun berikutnya.

Hampir selalu tak bisa menahan buliran airmata jika membawa kembali kenangan itu. Sekalipun seringkali terbahas kata dan rasa, sulit menafikan deburan istimewa yang semerta melanda hati setiap kali tema ini datang. Mungkin ini yang dibilang sulit move on. Mungkin ini yang dibilang bukan sakitnya rindunya tuh di sini. Mungkin ini semacam jatuh cinta pada pandangan pertama, yang susah dilupakan.

Saya masih ingat jejak pertama di lantai Masjidil Haram yang mengantarkan saya menjumpai bangunan agung itu. Jejak yang disertai aneka macam rasa; rasa penasaran ingin tahu gambar nyata dari foto yang sering diangkat dimana-mana. Khawatir apakah jarak yang kian detik kian pendek benar akan menghantarkan saya bersimpuh di rumah-Nya. Rasa takut sebab, ehm, mungkin saya sedikit termakan cerita miring tentang sejumlah orang yang sudah datang di muka rumah-Nya tapi tak diberi kesempatan menyaksikan dengan mata telanjang.  Rasa sedih karena belum berkesempatan bersama keluarga pada momen itu. Di atas semuanya, limpahan syukur tak terhingga membingkai semuanya.

Dan memasuki pintu dalam Masjidil Haram, mata yang payah menahan kantuk dan lelah perjalanan sirna sempurna. Beralih sibuk mencari, mana bangunan legam yang selalu menjadi primadona muslim sedunia. Dan…menemukannya megah di tengah lautan manusia seperti lepas dahaga. Kami lupa malu menahan airmata dari kawan serombongan. Biarlah airmata menjadi bahasa untuk sementara. Di kali pertama menyaksikan rumah-Nya di depan mata. Kali pertama menyimpan visualisasi nyata dari keagungannya di benak makhluk lemah bernama manusia. Kali pertama yang menjadi candu untuk kembali mendatanginya. Saatnya melirih, labbaik Allahumma labbaik… Duhai Allah, aku datang…

Perjalanan berhaji saya tak lepas dari cerita tentang tenaga musiman haji. Setiap tahunnya pada musim haji dimana jutaan manusia tumpah ruah di satu lokasi, pemerintah Indonesia membuka kesempatan bagi mahasiswa Timur Tengah untuk bahu membahu dengan petugas dari Tanah Air, membantu kelancaran pelaksanaan haji jemaah Indonesia. Diharapkan dari segi bahasa dan kultur yang tak jauh berbeda antara Arab Saudi dan negeri rantaunya, serta kesesuaian dengan mata kuliah di bidang agama dapat menjadi faktor penting pendukung pelaksanaan ibadah haji. Setelah serangkaian tes dan proses administrasi, Allah izinkan kami berangkat menjemput takdir memenuhi panggilan-Nya.

Anugerah yang sungguh istimewa. Di tengah antrian haji yang kian memanjang, daftar sekarang untuk haji sepuluh hingga belasan tahun mendatang, serta biaya yang terus naik, Allah mengirimkan momen berhaji sambil menjadi petugas. Rasanya seperti ditawari wisata cuma-cuma sambil dikasih sangu. Dan benar, sampai sekarang setiap jelang masa haji seperti sekarang ini,  –interval Agustus September begini-, saya selalu menikmati kenangan serta kerinduan untuk kembali bersisian dengan Ka'bah. Thawaf di tengah malam yang lengang sehingga memungkinkan kita mencium Hajar Aswad. Shalat dua rakaat pasca thawaf yang penuh bait doa, doa pribadi maupun doa titipan kawan kerabat. Sa'i yang mengingat perjuangan seorang perempuan bersejarah, Ibunda Hajar. Bebas mengonsumsi air zamzam yang keberkahannya sepanjang zaman. Urutan manasik wukuf di padang Arafah-Muzdalifah-lempar jumrah di Mina lalu disusul mabit yang penuh perjuangan. Pun jenak singkat sekedar menghabiskan malam di lantai paling atas masjidil Haram, beratapkan langit terbuka, memandang jemaah yang menyemut mengelilingi Ka'bah sambil meluruskan kaki merehatkan badan yang penat usai shift kerja di Balai Pengobatan Makkah.

Fa biayyi aalaa`i rabbikuma tukadzibaan? Maka, Nikmat Tuhan-Mu yang manakah yang kau dustakan? Alhamdulillah bini'matihi tatimmu ash-shaalihaat; Segala puji syukur hanya untuk Allah yang telah menyempurnakan setiap kebaikan.   

*Jadilah saat Mak Indah bikin giveaway tentang berkah dalam hidup, pas di akhir Agustus ini, saya jadi banyak curcol *tutupmuka. Semacam recall dan melepas rindu gitulah Mak… Anyway thanks mak Indah berhasil mendorong saya nulis tentang momen haji ini dengan "BlessfulAugust Giveaways by indahnuria.com" -nya. Wish all the best ya Mak Indah di bulan pertambahan umurnya ini. Kullu sanah wa nahnu ilaLLAHi aqrab; Semoga tiap tahun kita semakin dekat dan erat dengan Tuhan. That's the way Egyptians say for birthday moment J 



    

Comments

  1. terharu sangat membacanya mak... semoga satu saat ada panggilan untukku juga ke sana...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Mak. InsyaAllah dimudahkan ya Mak menjemput panggilannya..

      Delete
  2. Senangnya bisa study sekaligus berhaji. Semoga esok bisa menjejakan kaki disana juga

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah Mak, rizki. InsyaAllah Mak Fenny dsampaikan menjejakkan kaki di Tanah Suci

      Delete
  3. Waaah seneng banget ya mak.. Semoga aku bisa menyusul ke sana. amin amin aminn... :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin aamiin ya Rabb Mak Kandi yg kece :) didoakn semuanya sampe ksna ya Mak

      Delete
  4. Berkah ya menuntut ilmu sambil berhaji

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin ya Rabb. Smg berkah yg sama utk Mak Lidya ya :)

      Delete

Post a Comment