Semua Adalah Tentang Kebiasaan

*arsip jadul, termasuk satu dari sisa masa Revolusi Mesir 25 Januari, dan evakuasi WNI yang tertinggal di folder. :)

Dan semua adalah tentang kebiasaan.

Pahit sekali obat yang ragu kau desakkan ke dalam kerongkonganmu. Pahit, sepertinya kau akan memuntahkan semua isi perut sebab pahit yang menjalar dan menyesakkan tubuhmu. Satu hari dua hari kemudian, kau tampak seperti menikmati nasi; pahit tak lagi terasa. Bahkan kau hampir terlupa yang ada di tanganmu adalah obat pahit.

Bumi mengajakmu bersama dengan dentum meriam setiap hari; maka kau akan terbiasa dengan dentum itu, seperti menjadi bingkai yang merangkai rantai perjalananmu, kian melekat pekat. Tawamu yang sempat menghilang di awal pertemuanmu dengan dentum meriam kembali lagi. Kini kau tertawa lebar berseling dentum meriam.

Letup senapan yang pertama kau dengar mungkin seperti memaksa jantungmu berdetak keras lantas seakan menggema dari balik rangkamu. Tapi hari jualah yang membuatnya seperti gemericik rerintik hujan. Lewat sedemikian wajar karena saking engkau terbiasa. Dan telingamu tak lagi mengirimkan pesan luar biasa pada jantung; detaknya normal saja saat letup itu bahkan bersahutan di udara.

Desing pesawat tempur melintas di areamu, kau kira akan menulikan telingamu bila tiap hari ia memaksamu mendengarkan semuanya. Lantas pada kesekian kalinya pesawat itu mondar-mandir di atas kepalamu, ia bagaikan nada wajib siang dan malammu. Layaknya penanda jam makan siang. Atau bel waktunya makan malam. Tak ada ketulian yang kau kira.

Peluh dan darah merembesi bajumu beriring keluh kesakitan dari mulutmu. Sekali saja keluh itu mengiringinya, karena kemudian kebiasaan menghapus keluh itu menjadi sebuah kerutinan. Tak afdhal sekali perjuanganmu tanpa kehadiran peluh. Tanpa kehadiran darah. Tak afdhal tanpa keduanya.

Lama-lama, efek dari kebiasaan yaitu, membuatmu merindu.

Semuanya memang soal kebiasaan.

Sebagaimana Zionis membiasakanmu dengan tragedi pembantaian yang menjadi topeng misi kembali ke tanah yang mereka klaim kampung halaman, hingga kau beranjak membenarkan dan kian membenarkan haknya atas bumi suci Palestina. Hingga tiba saatnya yang keluar dari mulutmu adalah, bukankah itu tanah air Yahudi, negara Israel? Matamu buta sudah atas negara bernama Palestina di jajaran peta dunia.

Atau sejauh Amerika membiasakanmu dengan seruan perangi teroris sambil mengarahkan jarinya pada kaum muslim di penjuru dunia. Dan hari menjadikan seruannya juga seruanmu. Lalu, kau tunjuk muslim yang berusaha mempertahankan ajaran agamanya sebagai teroris. Kau lupa bahwa kau juga bagian dari mereka karena mereka saudaramu; bahwa sesama saudara selayaknya saling bahu membahu.

Undang-undang buatan manusia yang kau terapkan mengatakan bahwa segala bentuk yang berhubungan dengan perjuangan adalah kekerasan, terorisme. Dan segala hal yang berkaitan dengan terorisme mereka adalah berbahaya. Sehasta demi sehasta kau melangkah menjauhi area yang mereka bilang berbahaya. Kau tutup inderamu dari segala citra perjuangan, pengorbanan, dan.. kemanusiaan. Kau campakkan lembaran yang memberitakan upaya saudaramu menumpas penjajah, bagimu: itu berbahaya karena berpotensi masuk dalam pelanggaran undang-undang. Kau pura-pura tak menyaksikan nyawa saudaramu melayang di ujung benua sana, katamu: mereka berhak mendapatkannya karena mereka menentang undang-undang kekerasan. Semua itu berbahaya: dan kau tak akan mau bersisian dengan bahaya sampai harus menggadaikan nyawamu. Tak lagi terlintas dalam benakmu, adakah yang lebih penting daripada dirimu sendiri? Kau sampai hati tak menganggap keberadaan orang lain di sekitarmu, buatmu semua hanya berpusat pada dirimu; kau dan kau saja. Tak ada urusan di luar 'kau'. Dan, 'peduli sesama saudara' kian asing bagimu.

Ah, ya. Hampir saja melewatkannya. Ternyata media berperan besar melukis bingkai cara pandangmu terhadap segala sesuatu. Dulu, kau tak lihat perempuan berdua dengan laki-laki kecuali mahramnya. Sampai media menjejalkan padamu berpasang-pasang perempuan dan laki-laki, tanpa status yang membenarkannya berduaan. Tiap saat, dan pemandangan di media lantas menjadi standar pembenaran hubungan laki-laki dan perempuan asing, menggantikan status mahram yang menjadi standarmu sebelum kau memakan ajaran media. Standarmu kini bergeser: semua yang terbiasa dan lazim di khalayak ramai adalah sebenar kebenaran.

Berteman akrab dengan televisi, buku panduan hidupmu kian melesak dalam rak buku. Kitab mulia, wahyu Sang Pemilik Cahaya di Atas Cahaya berdebu karena tanganmu tak pernah lagi menjangkaunya. Kau hanya kenal dengan namanya; Al-Qur'an tanpa pernah hatimu menyapanya. Sama seperti kau mengaku pengikut Nabi Akhir Zaman tanpa pernah berusaha meneladaninya. Sama seperti kau memeluk agama Islam, kemudian menebas habis penerapan nilainya dalan kehidupan. Semua adalah kebiasaan, sampai-sampai kau kehilangan nilai.

Lantas, seruan lantang yang menggema di jiwa para sahabat mulia, "Saya Muslim!" berganti tanda tanya asing lagi sangsi di jiwamu. "Saya Muslim?".

Dua kebiasaan, dua wajah bertolak belakang. Pastikan kebiasaan yang kau buat penuh landasan, kawan! Sebab, first you make habits, then habits make you.


(01 Februari 2010, 01:36 am)
Membiasakan hawa tak stabil Mesir dan kemungkinan evakuasi para ibu dan anak saat hari sudah terang, sambil terus menegur:
sampai dimana kau, Fy?
Memohon: Allah, jaga kami selalu. Sungguh, apalah kami tanpa-Mu Duhai Rabbi..

Comments

  1. SubhanAllah ya ukht,
    nice post..

    unutk muhasabah diri saya.. :'(

    ReplyDelete
  2. syukran mbak, sy juga jadi ikut muhasabah..*meneladani mbak Tika:)

    ReplyDelete
  3. akhirnya menulis lg... really meaningful:)

    ReplyDelete

Post a Comment