Menghargai Luka

langkah yang terbata pada setapak
menandakan luka pada jejaring hati dan jemari yang terkoyak
karena apa?
Kadang karena kata,
lain waktu karena laku,
sesaat karena lirik mata,
sesekali sebab duga dan sangka.

Pedih.
Lalu apa? Berhenti pada pinggiran peradaban
dan menghilang tanpa jejak?

Perih.
Apakah lantas berlari abaikan harap dan
sembunyi di balik terali?

Berdarah.
Haruskah mengepak pundi semangat dan mencampakkannya
di altar kekerdilan?

Sungguh, niscaya luka akan memberikan antidotnya sendiri
pada rongga jiwa. Mutualisme tanpa terasa.
Bagaimana caranya?
Tenang kawan, waktu dan kuantitas menstimulan luka
untuk menyerapkan imun secara leluasa.
Satu yang kita kenal dengan nama:
kebebalan. Kebas. Tak terasa.
Sebab terbiasa. Sebab terpola. Sebab terasah.
Nantikan imun luka menyulapmu menjadi kuat,
dengan sendirinya.

Maka selalu,
pada lelah yang bergelantung,
pada penat yang memadatkan benak,
pada nyeri yang memekik,
pada luka yang meruah,
berseru sajalah; sabar dan bersabar.
berteguh sajalah; gerak dan bergerak.


20052011. Setia.
@SonEr

Comments

  1. luka bisa jadi biasa jika memandangnya dengan tatap sederhana
    adakalanya rasa pedih, perih, sedih menjadi luar biasa karena kita meyakininya demikian
    bertahanlah, sebentar lagi, sebentar saja sampai kita tau ada pelangi yang benar menunggu di kejauhan sana
    _ishbiru wa shobiru wa robithu_

    ReplyDelete

Post a Comment