hitam, abu-abu, putih

"Hidup itu hitam putih, kawan!" ujarnya lirih. Ternyata kata berkuasa menyingkat waktu, perbincangan kami -kawan dan sahabat- menyulap malam menjadi kilatan menit. Dan statement yang diucapkannya dengan yakin tadi membuatku bergeming. "Jangan hilangkan abu-abu itu, sahabat..", balasku. Aku menangkap gelengan kepalanya yang samar. "Dia ada, meskipun hanya merupakan wujud dari ketakutan kita atas kehadiran hitam. Sadar atau tidak, kita seringkali memilih berlindung di bawah payung abu-abu untuk melegitimasi ke-hitam-an kita. Kita takut, cemas, khawatir, atau bahkan tak ingin menanggung konsekuensi hitam.", paparku lemah. Lemah, karena malam memang sudah sangat 'malam'. Lemah, menyadari ke-abu-abu-anku sendiri. Tangannya mulai menepuk bahuku perlahan; satu bentuk penyaluran semangat yang sama-sama kami kuasai. Aku nyengir, tak urung membuat senyumnya keluar juga. "Aku tahu, dan selalu yakin. Bahwa kau, kawan, selalu memiliki apa yang tak orang lain miliki. Tidak juga diriku, sahabatmu ini,", katanya pelan dan pasti, "dan karenanya, kau pasti mampu lewati semuanya dengan baik." Mataku mengembun, terharu. "Kau selalu sahabatku, sahabat..!", balasku padanya, yang tersenyum kecil lalu mengangguk, "Itu karena kau kawanku!".

imagine. sharing. supporting. missing.

Pinggir lapangan depan asrama, 2007. Lakonmu, lakonku, lakon kita yang tak terlupakan.

Comments

Post a Comment