Dalam rentetan perjalanan umur, setiap kita pasti pernah
mendapat satu momen istimewa dimana sebuah titik balik, atau batu loncatan
ditemukan. Titik balik atau batu loncatan yang membuat ia pribadi mendapatkan
bongkahan tiang penyangga yang kemudian mengukuhkan kekuatannya mengarungi
hidup. Yang juga melengkapi puzzle prinsipil dirinya sendiri. Sebuah kejadian
yang mungkin layak saya sebut dengan, golden moment.
Momen berharga itu tidak bisa dibilang selalu hadir dalam
kemasan menyenangkan. Ibarat jual beli, kita selalu tertuju pada frasa; apakah
barang tersebut menguntungkan buat kita. Tak peduli manis atau pahit, sebab
nyatanya dalam beberapa kondisi kita justru menyisihkan kerelaan membeli yang
pahit, sejenis obat mungkin. Sebab berpulang pada frasa kaidah di atas; mungkin
memang yang kita butuhkan kali itu adalah obat yang notabene tak memanjakan lidah,
tapi berguna buat segenap raga.
Prosesi kelahiran seorang anak mungkin bisa jadi salah satu
dari deretan momen tersebut. Selain bahagia yang menyertai, jangan pernah
lupakan kesakitan luar biasa yang mendera. Rasa sakit yang sempat jadi guyonan
antar sepasang suami istri, “Coba kita bisa bagi-bagi ya, saya udah bagian
hamil 9 bulan, sekarang gantian lah kamu yang lahirin,” ucapnya sang istri
sambil senyum meringis menahan kontraksi. Oh jangan Tanya sakit kontraksi kayak
apa ya, mungkin ia masuk kategori sakit yang saking-sakingnya sampai bikin
bingung mau berekspresi sakit seperti apa.
Namun dari sakit yang harus dilewati kala prosesi itu,
seorang ibu baru terlahir dengan setumpuk bekal kekuatan dari Allah. Bekal menjalani
malam tahan kantuk yang panjang, melewati fase demi fase pertumbuhan anak yang
selalu diiringi tantangan tersendiri. Mungkin saat lelah sudah mencapai
batasnya, ia bisa kembali meraup kekuatan dari cerita mengenang prosesi
kelahiran; jika Allah sudah memberikan izin sesuatu terjadi, sesulit apapun
sudah tak ada nilainya lagi dibanding kedigdayaan-Nya. Maka jika Allah sudah
berkehendak menitipkan seorang anak di bawah pengasuhan sepasang orangtua, tentu Ia berikan bersamanya, sepaket daya dan
perlindungan.
Misal momen lain, mungkin semacam jatuhnya seseorang di
lubang. Sakit yang dirasa mengajarkan bahwa kehati-hatian adalah utama. Dan betapa
merutuki kejatuhan tak memberi perubahan berarti, lalu buat apa menghabiskan
tenaga untuk memaki?
Ah, agaknya momen penemuan nilai yang berharga itu sejatinya
tidak perlu terlihat ‘Wah’. Cukup mata yang bisa memandang lebih jernih untuk
sampai ke saat ‘Aha’-nya. Serta hati
yang hidup untuk mencapai itu semua, itulah PR sejatinya. Dengan keduanya, niscaya
momen sederhana apapun rasanya –manis atau pahit- menjadi istimewa.
dan semoga setiap pertambahan hari juga Allah sertai penjagaan mata hati, demi memilah kebaikan dari keburukan serta menyerap hikmah dari setiap kejadian;
Allahummarzuqna qalban khaasyi’an, watsabbitnaa ‘alaa
diinika ya Rabbal ‘Alamin.
Kairo, 4 Maret 2016
Comments
Post a Comment