Dialog Agak Panjang Tentang Keraguan

 Haloo Bulan

Lama sekali tak berjumpa. Ehm, mungkin tepatnya bukan tak jumpa, kita jumpa tiap hari, bersitatap hampir tiap malam. Hanya tidak berbincang personal dengan rentang waktu panjaaang, seperti dulu yang biasa kita lakukan. 


Semoga bukan berarti kita tak komunikasi ya, sebab aku masih sering beruluk salam, melempar senyum senang atau lirihan getir, pun gerutuan singkat. 


Hari ini, akhirnya dialog kita agak lebih panjang. Sebab aku mempercayakan keresahan dan gumpalan tanda tanya padamu. Tanya beneran, atau retoris, atau malah sanggahan? Entahlah ditangkap apa maknanya. 


Tolong jangan tanya kabarku duluan, Bulan. Aku bisa menjawabnya panjang kali lebar hingga kukhawatirkan kau habis napas menunggu titik. Aku cukup senang mendengar kabarmu lebih duluan. Kau yang masih bersinar, masih setia beriring bumi, juga mengusahakan intipan kala mendung menyelimuti sebagaimana hari belakangan. 


Aku harap, aku bisa sesetia itu, Bulan..

Di tengah kegamangan menangkap sinyal apakah ada harapan dan sambutan dari sebelah tangan, aku terombang-ambing hingga habis tenaga, sejujurnya. Hormon bahagia tersedot kecemasan begitu rupa. Kerelaan melayani dan mendampingi seolah kehilangan nyawa. Cuma sebab tanda penolakan yang sekelebat muncul. Ya, padahal hanya sekelebat, Bulan. Tapi mampu merontokkan semuanya sekejap. 


Jadilah rasanya terjebak jadi zombie; hidup tanpa kehidupan. 


Ah, kurasa sebenarnya terlalu berlebihan, bukan begitu Bulan? 


Aku sedia mendengar komentarmu yang demikian, Bulan. Aku tahu kau tetap setia di sana meski tak urung kata-katamu terlalu jujur. Aku suka itu, kok. 


Apakah kini saatnya tak memberatkan soal cinta, rasa, harapan, sambutan, dan sederetan teman ragamnya, Bulan? 

Tinggal menjalani saja apa yang ada di hadapan, acuhi kelindan tanya soal begituan. Toh, banyak contohnya depan kita, begitukah harus kuambil langkah, Bulan? 


Aku, sampai pada ujung tanya, 


Apakah aku sedemikian menjijikkan untuk sekedar mendapatkan pelukan?


Apakah aku sedemikian hina bahkan untuk sebuah rangkulan, ah, bukan, bahkan hanya tepukan di pundak yang menguatkan? 


Betulkan begitu jelek dengan rupa dan lakuku ini, sampai tak berhak mendapatkan ungkapan sayang di luar momen kau butuhkan pelayanan ekstra? 


Kalau begitu, apakah aku mundur saja membawa semua syak ini? 


Sungguh Bulan, kepercayaan diriku sudah runtuh sebagian besarnya. Keyakinanku sudah lemah tiada daya. 


Ah, Bulan.. terima kasih untuk mengingatkanku pada fase 'laa haula wa laa quwwata illa billah'. 


Benar-benar terima kasihku. Jumpa esok lagi, Bulan. 




-menjadi orang lain, mencoba mengisahkan gundahnya saja~

Comments