#1 : Ayah.
Memang, terperangkap rindu bukan hal yang mudah.
Beberapakali setelah kepergian Ayah, saya bermimpi dalam
satu scene bersama beliau. Seperti, keseharian yang diputar ulang. Dibangunkan
dari tidur dengan gelitik di telapak kaki, cara andalan Ayah membangunkan
anak-anaknya selain memencet hidung kami. Sambutannya melihat anak-anak
nongkrong depan layar kaca yang menayangkan siaran bola tengah malam, tanpa
melarang dan hanya menitip pesan, tunaikan juga qiyamnya sejenak. Lalu, kadang
nonton bersama sejenak. Bincang sersan (serius tapi santai) di teras rumah. Dering
telpon rumah yang rutin saat jam kantor, sekedar menanyakan sedang apa anak
istrinya di rumah, sudah makan belum, main apa, just simple question tapi
membuat kehadirannya nyata dalam keseharian. Tawar menawar hang out,
jalan-jalan akhir pekan yang cukup a lot, dimana Ayah lebih sering ingin
menghabiskan waktu santa di rumah, sementara kami ngotot minta jalan,
-kemanapun-. “di rumah enak tau, nggak capek. Kan rumahku syurgaku..”, kilah
beliau yang langsung diserbu argumen anak-anaknya, “Iya Ayah, tapi kan kita mah
tiap hari di rumah. Wajar dong ada bosen sedikit-sedikit.” Sambil tarik-tarik
tangan beliau ke depan. Ayah yang baik, Cuma menyambut dengan sekelumit tawanya
yang khas, lalu mengalah menyiapkan kendaraan. Selain jalan bersama kami, satu
agenda rutin Ayah di akhir pekan adalaah, ngepel seisi rumah, sebagai
keikutsertaan dan solidernya terhadap Ibu. Ngepel rumah kami ada seninya
tersendiri, alias aturan lisan dari Ibu; nggak ada ngepel cuma sekali lap. Dua kali,
pertama lap basah, lalu lap mengeringkan. Yang artinya,wajib dobel :) Lumayan buat olahraga
sementara Ibu (dan kami yang suka gantiin ngepel) bisa tarik nafas sejenak.
Ah, Ayah… Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu
anhu, waj’al jannata matswaahu.
Saya, kemudian sadar. Betapa orang yang hadir, -yang Allah
hadirkan- dalam kehidupan orang lain adalah kebermaknaan yang dalam. Isyarat untuk
mengukirkan kenangan terbaik dalam memori dengan aneka jenis peran.
Apalagi sebagai orangtua, peran kekinian yang tertatih saya
tapaki. Di situ, kadang saya merasa menghadap cermin yang menyerukan kembali on
the track, harus menebalkan dinding kesabaran agar tangga nada suara tidak
cepat meninggi, lisan tidak acapkali mengeluh, jendela mata bisa melihat cerahnya lukisan kehidupan
sehari-sehari meski penuh naik-turun pancingan emosi, dan utamanya, agar hati
bisa lapang menerima cerita zaman yang Allah karuniakan.
Bukankah kita selalu punya Allah yang menjadi sumber tenaga
superdaya? Maka, fasta’inuu bish-shabri
wash-shalaah, meluruhlah dalam sabar dan salat,wahai hamba Allah. Di sanalah
muara meminta pertolongan.
Dini hari 3 Januari 2016, Kairo.
Sehari sebelum hari lahir
beliau.
Comments
Post a Comment